UNIBA SURAKARTA



Universitas Islam Batik
Didirikan        :1983
Jenis             :Perguruan Tinggi Swasta
Rektor          :Prof. Dr. Ir. Endang Siti Rahayu, M.S.
Lokasi          :Jl. KH. Agus Salim No.10, Surakarta, Jawa Tengah 57147
Situs web       :http://www.uniba.ac.id





SEJARAH UNIVERSITAS ISLAM BATIK 
(UNIBA) SURAKARTA

Universitas Islam batik (UNIBA) Surakarta lahir 25 tahun yang lalu tepatnya pada tanggal 30 Juli 1983 dengan nama Universitas Islam Kyai Mojo (UIM) di bawah naungan Yayasan Perguruan Tinggi Islam Kyai Mojo (YAPERTIM). Kelahiran UIM ini merupakan hasil penggabungan antara Akademi Akuntansi dan Managemen Batik Surakarta (AAM) dengan Universitas Islam Surakarta (UNIS). UIM membuka tiga Fakultas yaitu Fakultas Ekonomi (Penggabungan dari AAM), Fakultas Hukum dan Fakultas Pertanian. Sedangkan UNIS mengelola fakultas Fakultas Tarbiyah dan Syari'ah. Pada Tanggal 28 Maret 1989 diubah menjadi Universitas Islam Batik Surakarta (UNIBA) sesuai dengan persetujuan Mendikbud RI dengan Surat Keputusan No. 0161/0/1989.  Pada saat ini UNIBA mengelola tiga fakultas yaitu Ekonomi (Manajemen dan Akuntansi), Hukum, Pertanian (Agroteknologi) dan satu program Pascasarjana  Masing-masing dengan SK DIKTI, Jurusan Manajemen (7692/D/T/K-VI/2011), Jurusan Akuntansi (7691/D/T/K-VI/2011), Ilmu Hukum (7690/D/T/K-VI/2011), Budidaya Pertanian Agronomi (7693/D/T/K-VI/2011) dan Pascasarjana (5937/D/T/K-VI/2011).

Fakultas
Program Pasca Sarjana Terakreditasi B
Program S1 Fakultas Hukum Terakreditasi B
Program S1 Fakultas Ekonomi Terakreditasi B
Program S1 Fakultas Pertanian Terakreditasi B

Biografi Tokoh Ahlak Tassawuf




1.     Buya hamka

buya hamka, sastrawan Buya Hamka lahir pada tahun 1908 di desa kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat, HAMKA sendiri merupakan singkatan dari nama beliau yakni Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Hamka merupakan putra dari Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yg juga merupakan ulama di tanah minang, diawali bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958.
Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Buya Hamka merupakan sosok otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman, beliau juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang andal. buya hamka, juga seorang sastrawan.
Hamka aktif dalam Muhammadiyah, terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya mengundurkan diri pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
beliau juga wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam. Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Deli.
·         karya- karya buya HAMKA antara lain:
    Khatibul Ummah, Jilid 1-3. Ditulis dalam huruf Arab.
    Si Sabariah. (1928)
    Pembela Islam (Tarikh Saidina Abu Bakar Shiddiq),1929.
    Adat Minangkabau dan agama Islam (1929).
    Ringkasan tarikh Ummat Islam (1929).
    Kepentingan melakukan tabligh (1929).
    Margaretta Gauthier (terjemahan) 1940.
     Pandangan Hidup Muslim,1960.
    Kedudukan perempuan dalam Islam,1973.
Referensi :

2.     Syekh Abdur Rauf Al-Fansuri As-Singkili

Nama Syekh Abdur Rauf Al-Fansuri As-Singkili yang memiliki nama panjang Syekh Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Al-Fansuri Al-Singkili dilahirkan di Fansur dan dibesarkan di Singkil, Aceh, pada awal abad ke-17 Masehi
Ulama besar asal Aceh ini sangat terkenal dengan pemikirannya. Sejak kecil ia sudah mempelajari ilmu-ilmu zahir seperti tata bahasa Arab, membaca Alquran dan tafsir, hadis dan fikih, mantiq (logik), filsafat, geografi, ilmu falak, ilmu tauhid, sejarah dan pengobatan.
Ia pun sempat mendalami ilmu-ilmu batin seperti ilmu tasawwuf dan tarekat. Dalam laman www.ddii.acehprov.go.id disebutkan, Abdul Rauf lalu menjadi ahli (pakar) dalam ilmu-ilmu tersebut.
Di bidang keagamaan Abdul Rauf pertama kali belajar pada ayahnya, Syehk Ali Fansuri yang bersaudara dengan Syekh Hamzah Fansuri. Menginjak remaja Abdul Rauf menimba ilmu di Timur Tengah.
Berawal dari melaksanaan ibadah haji, ia lalu menetap selama 19 tahun di Timur Tengah. Nenek moyang Al-Singkili dipercaya berasal dari Persia (Iran) dan datang ke  Kesultanan Samudera Pasai pada akhir abad ke-13. Mereka kemudian menetap di Fansur (Barus), kota pelabuhan yang penting di pantai Sumatera Barat.
Tidak hanya di Makkah, ia juga mempelajari ilmu agama dan tasawuf di Kota Madinah, di bawah bimbingan guru-guru terkenal. Di Madinah ini pula Abdul Rauf berkesempatan berguru pada khalifah (pengganti) dari tarekat Syattariyah bernama Ahmad Kusyasyi dan juga Maula Ibrahim.
Hal ini terungkap dalam kata penutup salah satu karya tasawuf yang menyebutkan guru dan tradisi pengajaran yang diterimanya. Karya tasawufnya ini juga menjadi model pewarisan sufisme di dunia sufi Melayu.
Dalam laman www.melayuonline.com disebutkan bahwa Abdul Rauf juga berguru di beberapa kota di Timur Tengah meliputi kota-kota di Yaman, Doha di Qatar hingga Kota Lohor di India. Disebutkan pula, Abdur Rauf mengamalkan 11 tarekat, di antaranya Syattariyah, Kadiriyah, Kubrawiyah, Suhrawardiyah, dan Naqsyabandiyah.
\Ajaran tasawuf pada banyak karya Abdul Rauf menekankan transendensi Tuhan di atas makhluk ciptaan-Nya. Di mana ia menolak pandangan wujudiyyah, yang menekankan imanensi Tuhan dalam makhluk ciptaan-Nya.
Dalam karyanya yang berjudul Kifayat Al-Muhtajin, ia berpendapat bahwa Tuhan menciptakan alam semesta. Makhluk ciptaan-Nya sebagai wujud yang mutlak tetap berbeda dari Tuhan. "Diumpamakan dengan tangan dan bayangan, walau tangan sulit dipisahkan dengan bayangan, bayangan bukan tangan yang sebenarnya," jelas dia.
Secara umum dan mudah dipahami bahwa Abdul Rauf ingin mengajarkan tentang harmoni antara syariat dan sufisme. Keduanya harus bekerja sama. Hanya melalui kepatuhan pada syariat maka seorang yang berada di jalan sufi bisa menemukan hakikat kehidupannya.
Pandangan ini berseberangan dengan pendekatan Nuruddin Al-Raniri. Namun, ia cenderung memilih jalan damai dan sejuk untuk berinteraksi dengan aliran wujudiyyah. Ia tak secara terbuka menyatakan menentang pandangan-pandangan lain. Jalan damai ini lantas mengurangi pertentangan dalam Islam akibat tafsir yang kurang tepat.
Sejalan dengan kepatuhan total pada syariat, Abdul Rauf berpendapat bahwa dzikir penting bagi orang yang menempuh jalan tasawuf, seperti terkandung dalam karyanya bertajuk Umdat Al-Muhtajin ila Suluk Maslak Al-Mufradin, di mana dasar dari tasawuf adalah dzikir yang berfungsi mendisiplinkan kerohanian Islam.
Dalam berdzikir ada dua metode yang diajarkannya, yaitu dzikir keras dan dzikir pelan. Dzikir keras seperti pengucapan "La ilaha illa Allah" sebagai penegasan akan keesaan Sang Pencipta. Dzikir menurut dia bukanlah membayangkan kehadiran gambar Tuhan melainkan melatih untuk memusatkan diri.
Di samping itu, Abdul Rauf berpandangan bahwa tauhid menjadi pusat dari ajaran tasawuf. Pandangan-pandangan dasar Abdul Rauf tentang tasawuf ini tertera dalam kitab Tanbih Al-Masyi. La ilaha illa Allah menurut dia, memiliki empat tingkatan tauhid: penegasan, pengesahan ketuhanan Allah, mengesahkan sifat Allah dan mengesahkan dzat Tuhan.
Abdul Rauf sebelumnya sudah mendapatkan ajaran tentang ilmu tasawuf tentang tarekat Syattariyyah dan tarekat Qadiriyyah. Sampai akhirnya ia diberi ijazah dalam dua tarekat tersebut. Karena itu, ia mendapat gelaran "Syekh" yang artinya pemimpin tarekat. Dalam mempelajari tarekat ini Abdul Rauf juga belajar kepada dua orang guru India yang berada di Tanah Arab; Syekh Badruddin Lahori dan Syekh Abdullah Lahori.
Di bidang syariat, Abdul Rauf menyusun sebuah kitab yang lengkap membahas perkara syariat.
Hasil pemikirannya tentang hal-hal yang terkait permasalahan kehidupan sehari-hari terangkum dalam kitab berbahasa melayu dengan judul Mirat Al-Turab fi Tashil Ma‘rifah Al-Ahkam Al-Syar'iyyah li Al-Malik Al-Wahab (Cermin Para Penuntut Ilmu untuk Memudahkan Tahu Hukum-hukum Syara' dari Tuhan).
Dengan segala pengetahuan dan pemahamannya, Abdul memilih tak membahas tentang tata cara ibadah, melainkan menuliskan pandangannya terhadap hukum atau tata cara yang aplikatif dalam menjalani kehidupan sehari-hari berdasarkan Alquran.
Dalam kitab Mirat Al-Turab dibahas tiga hal utama, yaitu hukum perdagangan dan undang-undang sipil atau kewarganegaraan, hukum perkawinan, dan hukum tentang jinayat atau kejahatan.
Hukum perdagangan dan UU sipil mencakup urusan jual beli, hukum riba, kemitraan dalam berdagang, perdagangan buah-buahan, sayuran, utang-piutang, hak milik atau harta anak kecil, sewa menyewa, wakaf, hukum barang hilang dan lainnya.
Di bidang hukum perkawinan dibahas tentang nikah, wali, upacara perkawinan, hukum talak, rujuk, fasah dan nafkah. Sedang hukum jinayat membahas tentang hukuman pemberontakan, perampokan, pencurian, perbuatan zina dan hukum membunuh.
Dalam bidang tafsir Abdul Rauf menghasilkan karya berjudul Tarjuman Al-Mustafid. Sebuah karya terjemahan Alquran dalam bahasa Melayu dari kitab tafsir yang lain, atau disebut Tafsir Al-Jalalain.
Sampai akhir hayatnya, ia belum sempat menyelesaikan tafsir ini sehingga karya ini lalu diselesaikan oleh muridnya, Daud Rumi, dan beberapa pengarang lainnya.
Merintis tafsir Alquran dalam bahasa Melayu
Seperti tertulis dalam laman www.psq.or.id, disebutkan bahwa hampir semua pengkaji sejarah Alquran dan tafsir di Indonesia sepakat menjadikan Abdul Rauf Al-Singkili sebagai perintis pertama tafsir di Indonesia, bahkan di dunia Melayu.
Tafsir yang bernama Tarjuman Al-Mustafid ini sangat diterima dan mendapat tempat di kalangan umat Muslim. Tidak hanya di Indonesia, tafsir ini pernah diterbitkan di Singapura, Penang, Bombay, Istanbul, Kairo dan Makkah.
Dua pendapat besar dilontarkan para ahli tentang tafsir ini. Pertama, terjemahan tersebut lebih mirip sebagai terjemahan Tafsir Al-Baidhawi, yang juga mencakup terjemahan Tafsir Jalalain. Dan tafsir tersebut mengambil sumber dari berbagai karya tafsir berbahasa Arab.
Kedua, Tarjuman Al-Mustafid adalah terjemahan Tafsir Jalalain. Dan hanya pada bagian tertentu saja tafsir tersebut memanfaatkan Tafsir Al-Baidhawi dan Tafsir Al-Khazin. Lebih khusus disebutkan karya Syekh Abdul Rauf ini sebagai saduran daripada sebagai terjemahan.
Metodologi tafsir yang digunakan Abdul Rauf dinilai sangat sederhana. Tafsir Al-Jalalain yang dikenal sangat ringkas dan padat di tangan Abdul Rauf diterjemahkan menjadi lebih ringkas. Ia menerjemahkan kata per kata tanpa menambahkan pemahaman-pemahamannya sendiri. Penjelasan yang tidak perlu pada Tafsir Al-Jalalain ditinggalkannya.
Waktu tepat kapan tafsir ini disusun tidak pernah diketahui, karena Abdul Rauf tidak pernah menulis angka tahun. Namun, rintisan tafsir ini diabadikan oleh seluruh pencinta tafsir Alquran di Tanah Melayu, dengan menjadikan Tafsir Jalalain sebagai tafsir standar atau tafsir pemula yang dipelajari di hampir seluruh pesantren di Nusantara./ROL


3.      Yusuf al-makasari

Sejarah mencatat sejumlah nama ulama penyebar Islam di Gowa, di antaranya Syekh Yusuf al-Makassari. Nama lengkapnya Muhammad Yusuf bin Abdullah Abu al-Mahasin at-Taj Khalwati al-Makassari, yang kemudian lebih terkenal di Sulawesi dengan gelar Tuanta Salamakari Goa (Guru Kami yang Agung dari Gowa). Ia merupakan ulama terkemuka nusantara pada abad ke-17 M yang berasal dari Gowa.
Sejak kecil, Syekh Yusuf dipersiapkan oleh ayahnya untuk menjadi mubaligh. Ia belajar ilmu agama Islam dari Sayid Ba Alwi bin Abdullah at-Tahir, seorang ulama asal Arab yang menetap di Bontoala, Makassar. Pada masa itu, Bontoala menjadi pusat pengajaran Islam.
Setelah beberapa lama belajar kepada Sayid Ba Alwi, Syekh Yusuf memutuskan untuk kembali ke Gowa dan menikah dengan putri Raja Gowa Sultan Alauddin.
Di Gowa, ia menyebarluaskan ilmu agama yang diperolehnya dari Sayid Ba Alwi kepada masyarakat setempat.
Pada 1644, beliau memutuskan meninggalkan istrinya untuk memulai pengembaraan menuntut ilmu di luar daerahnya. Dia ke Banten, kemudian ke Aceh untuk memperdalam ilmu agamanya selama lima tahun.
Setelah dari Aceh, ia melanjutkan perjalanan ke Timur Tengah untuk melanjutkan menuntut ilmu. Syekh Yusuf kembali ke nusantara sekitar 1664 M atau 1672 M, setelah mengembara selama 28 tahun di Timur Tengah.
Sebagian sumber menyebutkan bahwa ia kembali ke Gowa sebelum akhirnya menuju Banten. Di Banten, ia menikahi putri Sultan Ageng Tirtayasa. Ia kemudian memilih untuk menetap di Banten.
Pengetahuan yang luas yang dimiliki oleh Syekh Yusuf menjadikan Banten terkenal dengan pusat pendidikan Islam dan menjadikan Syekh Yusuf menjadi ulama yang terkemuka. Banyak orang yang datang dari penjuru nusantara untuk menjadi muridnya.
Sedangkan, Syekh Yusuf ditangkap oleh pasukan Belanda karena kegigihannya mengusir penjajah dari bumi nusantara. Pada September 1684, Syeikh Yusuf al-Makassari bersama dua istrinya, beberapa anak, 12 murid, dan sejumlah perempuan pembantu dibuang ke Pulau Ceylon, kini Sri Lanka.
Dari Sri Lanka, Syekh Yusuf beserta para pengikutnya kemudian dibuang ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Di Afrika Selatan, Syekh Yusuf tetap berdakwah dan memiliki banyak pengikut. Ia pun mengembuskan napas terakhirnya pada 23 Mei 1699 M.

4.     Hamzah Fansuri

           Syeikh Hamzah Fansuri adalah seorang cendekiawan, ulama tasawuf, dan budayawan terkemuka yang diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke-16 sampai awal abad ke-17. Nama gelar atau takhallus yang tercantum di belakang nama kecilnya memperlihatkan bahwa pendekar puisi dan ilmu suluk ini berasal dari Fansur, sebutan orang-orang Arab terhadap Barus, sekarang sebuah kota kecil di pantai barat Sumatra yang terletak antara kota Sibolga dan Singkel sampai abad ke-16 kota ini merupakan pelabuhan dagang penting yang dikunjungi para saudagar dan musafir dari negeri-negeri jauh.
Sayang sekali bukti-bukti tertulis yang dinyatakan kapan sebenarnya Syeikh Hamzah Fansuri lahir dan wafat, di mana dilahirkan dan di mana pula jasadnya dibaringkan dan di tanam, tak dijumpai sampai sekarang. Dari syair dan dari namanya sendiri sudah sekian lama berdominasi di Fansur, dekat Singkel, sehingga mereka dan turunan mereka pantas digelari Fansur. Konon saudara Hamzah Fansuri bernama Ali Fansuri, ayah dari Abdur Rauf Singkel Fansuri. Pada ahli cenderung memahami dari syair bahwa Hamzah Fansuri lahir di tanah Syahmawi, tapi tidak ada kesepakatan mereka dalam mengidentifikasikan tanah Syahmawi itu, ada petunjuk tanah Aceh sendiri ada yang menunjuk tanah Siam, dan bahkan ada sarjana yang menunjuk negeri Persia sebagai tanah yang di Aceh oleh nama Syamawi.
KARYA - KARYA
          Syair-syair Syeikh Hamzah Fansuri terkumpul dalam buku-buku yang terkenal, dalam kesusasteraan Melayu / Indonesia tercatat buku-buku syairnya antara lain :
Syair burung pingai, Syair dagang, Syair pungguk dll.
             Karangan-karangan Syeikh Hamzah Fansuri yang berbentuk kitab ilmiah antara lain :
Asfarul ‘arifin fi bayaani ‘ilmis suluki wa tauhid, Syarbul ‘asyiqiin, Al-Muhtadi, Ruba'i Hamzah al-Fansuri
          Karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri baik yang berbentuk syair maupun berbentuk prosa banyak menarik perhatian para sarjana baik sarjana barat atau orientalis barat maupun sarjana setempat, yang banyak membicarakan tentang Syeikh Hamzah Fansuri antara lain Prof. Syed Muhammad Naquib dengan beberapa judul bukunya mengenai tokoh sufi ini, tidak ketinggalan seumpama Prof. A. Teeuw juga r.O Winstedt yang diakuinya bahwa Syeikh Hamzah Fansuri mempunyai semangat yang luar biasa yang tidak terdapat pada orang lainnya. Dua orang yaitu J. Doorenbos dan Syed Muhammad Naquib al-Attas mempelajari biografi Syeikh Hamzah Fansuri secara mendalam untuk mendapatkan Ph.D masing-masing di Universitas Leiden dan Universitas London. Karya Prof. Muhammad Naquib tentang Syeikh Hamzah Fansuri antaranya - The Misticim of Hamzah Fansuri (disertat 1966), Universitas of Malaya Press 1970
- Raniri and The Wujudiyah, IMBRAS, 1966
- New Light on Life of Hamzah Fansuri, IMBRAS, 1967
PEMIKIRAN
           Dari karya-karya yang ditulis mengenai Hamzah Fansuri menunjukkan kelebihan yang sangat menonjol dalam bidangnya dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain pada masanya. Pada mulanya Hamzah Fansuri mempelajari ilmu tasawuf setelah menjadi anggota tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Abdul Qadir Jailani. Valentijn, seorang sarjana Belanda yang mengunjungi Barus pada tahun 1706, mengomentari tentang Hamzah Fansuri : Seorang penyair Melayu, Hamzah Fansuri...yakni seorang yang sangat terkemuka di lingkungan orang-orang Melayu oleh karena syair-syair dan puisi-puisinya yang menakjubkan, membuat kita karib kembali dengan kota tempat lahir sang penyair bilamana di dalam puisi-puisinya yang agung dia mengangkat naik dari timbunan debu kebesaran dan kemegahan masa lampau kota itu dan mencipta kembali masa-masa gemilang dan kebesarannya.
            Syair-syair Hamzah Fansuri yang diketahui tidak kurang 32 untaian. Syair-syairnya dianggap sebagai syair Melayu pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu, yaitu sajak empat baris dengan pola bunyi akhir a a a a pada setiap barisnya.
              Ciri-ciri sajaknya yang menonjol di antaranya menjadi semacam konvensi sastra atau puisi Melayu klasik. Pertama, pemakaian penanda kepengarangan. Kedua, banyak petikan ayat Alquran, hadis, pepatah, dan kata-kata Arab. Itu menunjukkan derasnya proses Islamisasi yang untuk pertamakalinya melanda bahasa, kebudayaan dan sastra Melayu abad ke-16. Ketiga, dalam setiap bait terakhir syairnya selalu mencantumkan takhallus (nama diri), yaitu nama julukan yang biasanya didasarkan pada nama tempat kelahiran penyair atau tempat ia dibesarkan. Keempat, terdapat pula tamsil dan citraan-citraan simbolik atau konseptual yang biasa digunakan oleh penyair-penyair Arab dan Persia dalam melukiskan pengalaman dan gagasannya. Kelima, karena paduan yang seimbang antara diksi (=pilihan kata), rima dan unsur-unsur puitik lainnya.
                 Syair-syair Hamzah Fansuri menciptakan suasanan ekstase dalam pembacaannya, seperti halnya suasana para sufi saat melakukan wirid, yaitu konser musik yang disertai zikir, nyanyian, dan pembacaan sajak. Ciri lain yang dapat ditambahkan sebagaimana puisi penyair sufi pada umumnya, syair-syair Hamzah Fansuri memadukan metafisika, logika, dan estetika secara seimbang.
            Winstedt mengatakan bahwa syair-syair Hamzah Fansuri kebanyakan memakai irama pantun, meskipun urutan sajaknya mengikuti urutan sajak syair. Mengenai syair Hamzah Fansuri, C. Hoykas dalam bukunya Perintis Sastra mengemukakan pendapat antara lain bahwa karangan-karangan Hamzah Fansuri bukan saja banyak memakai nama-nama Arab tetapi juga banyak mempergunakan kata-kata Arab di dalamnya. Oleh karena itu, karangan-karangan Hamzah Fansuri tidak mudah dipahami oleh orang biasa. Pengaruh Hamzah Fansuri cepat tersebar di seluruh tempat di Indonesia dan Malaysia terutama melalui pengajaran-pengajaran yang beliau berikan selama perantauan ke berbagai tempat dan melalui karya-karyanya yang tersebar di seluruh Asia Tenggara. Murid-muridnya pun tersebar pula di mana-mana. Hamzah Fansuri bukan saja seorang ulama tasawuf dan sastrawan terkemuka tetapi juga seorang perintis dan pelopor pembaharuan. Sumbangannya sangat besar bagi perkembangan kebudayaan Islam di Nusantara, khususnya di bidang kerohanian, keilmuan, filsafat, bahasa, dan sastra. Di bidang keilmuan, Hamzah Fansuri telah mempelopori penulisan risalah tasawuf atau keagamaan yang demikian sistematis dan bersifat ilmiah. Sebelum karya-karya Hamzah Fansuri muncul, masyarakat Melayu mempelajari masalah-masalah agama, tasawuf, dan sastra melalui kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab dan Persia.
            Dalam bidang sastra, Hamzah Fansuri mempelopori pula penulisan puisi-puisi filosofis dan mistis bercorak Islam. Kedalaman kandungan puisi-puisinya sukar ditandingi oleh  penyair lain yang sezaman bahkan sesudahnya. Dalam bidang kesusastraan pula, ia orang pertama yang memperkenalkan syair dan puisi empat baris dengan skema sajak akhir a a a a seperti telah disinggung sebelumnya. Dilihat dari strukturnya, syair yang diperkenalkan oleh Hamzah Fansuri seolah-olah merupakan perpaduan antara sajak Persia dengan pantun Melayu.
                Hamzah Fansuri juga telah berhasil meletakkan dasar-dasar puitika dan estetika Melayu. Pengaruh itu masih dapat diamati jauh setelah ia mati bahkan hingga sekarang, seperti dalam karya penyair Pujangga Baru, sastrawan angkatan 70-an dan sebagainya, berada dalam satu jalur estetik dengan Hamzah Fansuri. Bidang kebahasaan, Hamzah Fansuri telah memberikan beberapa sumbangan. Pertama, sebagai penulis pertama kitab keilmuan dalam bahasa Melayu, ia berhasil mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa intelektual dan ekspresi keilmuan yang hebat. Dengan demikian, kedudukan bahasa Melayu di bidang penyebaran ilmu dan persuratan menjadi sangat penting dan mengungguli bahasa-bahasa Nusantara lainnya pada waktu itu. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada sekitar abad ke-17, bahasa Melayu menjadi bahasa pengantar pada berbagai lembaga pendidikan Islam, bahkan digunakan pula oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai bahasa administrasi dan bahasa pengantar di sekolah-sekolah pemerintah. Itulah yang telah memberikan peluang besar terhadap bahasa Melayu bukan saja untuk berkembang maju tetapi juga untuk dipilih dan ditetapkan menjadi bahasa persatuan dan kebangsaan Indonesia. Sumbangan/pemikiran selanjutnya mengenai kebahasaan dapat dibaca dalam syair-syair dan risalah-risalah tasawuf Hamzah Fansuri, sangat besar jasanya dalam proses Islamisasi bahasa Melayu. Islamisasi bahasa sama saja dengan Islamisasi pemikiran dan kebudayaan. Syair-syairnya bukan saja memperkaya perbendaharaan kata bahasa Melayu tetapi juga mengintegrasikan konsep-konsep Islam dalam berbagai bidang kehidupan dalam sistem bahasa dan budaya Melayu.
                    Dalam bidang filsafat, ilmu tafsir dan telaah sastra, Hamzah Fansuri telah pula mempelapori penerapan metode takwil atau hermeneutika keruhanian. Sebagai contoh, dalam tulisannya Rahasia Ahli Makrifat, Hamzah Fansuri menganalisis dengan tajam dan dengan landasan pengetahuan yang luas mencakup metafisika, teologi, logika, epistemologi, dan estetika. Murid Hamzah Fansuri yang terkenal ialah Syekh Syamsuddin bin Abdullah as Samathrani, sangat berpengaruh dalam kehidupan keagamaan di Kesultan Aceh Darussalam, terutama pada masa pemerintahan Sayid al Mukammal dan Sultan Iskandar Muda. Pendirian Syekh Syamsuddin itu merupakan cerminan pendirian Hamzah Fansuri. Hal itu tidak saja dapat dilihat dari seluruh karya Syamsuddin, bahkan karyanya tersebut dapat dianggap memperjelas pendirian Hamzah Fansuri. Salah satu pandangan dan uraian Syamsuddin atas karya Hamzah Fansuri berjudul Ruba-i Hamzah Fansuri.
Perbedaan Faham
             Setelah Sultan Iskandar Muda meninggal, ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin mendapat serangan hebat dari ulama besar lainnya yaitu Nuruddin Ar-Raniri dan Abdurrauf Al Singkili. Bentuk dan sifat pertentangan ini berpangkal pada adanya dua aliran dalam ilmu tasawuf yang memang sulit untuk dikompromikan. Aliran pertama seperti sudah disebutkan yaitu wujudiyah, teori ini merupakan monisma (serba esa). Menurut ahli tasawuf dari aliran itu, dunia hanyalah emanasi atau pancaran dari inti sari yang tidak tercipta. Aliran yang kedua wihdatussyuhud yakni kesatuan persaksian. Pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda sebenarnya telah ada benih-benih pertentangan kedua aliran tasawuf tersebut tetapi dengan kebijaksanaan Sultan Iskandar Muda pertentangan itu tidak sampai menimbulkan kekacauan di lapangan kehidupan keagamaan. Sesudah Sultan Iskandar Muda meninggal maka Syekh Nuruddin Ar Raniri berhasil mempengaruhi Sultan Iskandar Sani untuk meberantas ajaran-ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As Samathrani yang dianggap olehnya sebagai ajaran sesat. Buku-buku karya Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as Samathrani dibakar dan dimusnahkan. Rakyat Aceh dilarang menganut faham kedua tokoh tersebut.
              Tentang karya dan pemikiran-pemikiran Hamzah Fansuri banyak yang sulit difahami, oleh sebab itu telah mengakibatkan pula penafsiran-penafsiran yang berbeda terhadap buah pikirannya. Monteil menyimpulkan dengan mengutip sebagian tulisan P. Zoetmulder : mungkin P. Zoetmulder yang benar, kalau menulis bahwa Ar-Raniri yang merupakan muslim terbaik, tetapi Syamsuddin adalah ahli pikir yang terbaik. Bagaimana kita tidak boleh mengagumi syair perahu dari Hamzah Fansuri yang wujud Allah nama perahunya.
Masa Wafat
               Hamzah Fansuri, ulama sufi, sastrawan dan cendekiawan yang hidup pada pertengahan abad ke-16 dan awal abad ke-17 di Fansur, meninggal dan dikuburkan di Desa Oboh Kecamatan Rundeng Kabupaten Aceh Singkil.
             Kehidupan Hamzah Fansuri tidak terlepas dari proses alur sejarah secara langsung maupun tidak langsung terikat dengan perjalanan agama Islam di Nusantara. Aliran tasawuf berdasarkan faham wujudiyah yang diaplikasikan dalam kehidupan dan dipaparkan dengan lirik sastra Melayu merupakan orang pertama yang mempelopori pengembangan sastra Melayu di Nusantara.
               Membicarakan Hamzah Fansuri sebagai tokoh fenomenal, baik sebagai penyair, ulama dan sekaligus intelektual maka tidak akan habis-habis untuk mengurai segi-segi kehidupan maupun karya-karyanya. Sebagai penyair Melayu klasik namanya tetap abadi. Ia adalah seorang penyair besar, sekaligus seorang ulama yang mengemukakan ide-idenya melalui puisi maupun prosa. Pikiran-pikiranya tentang masalah keagamaan terutama tentang hubungan manusia dengan Tuhannya, yang dalam faham keagamaan pikiran-pikiran Hamzah Fansuri dimasukkan dalam kategori wujudiyah.
                       Karya tulis Hamzah Fansuri dapat dikatakan sebagai peletak dasar bagi peranan bahasa Melayu sebagai bahasa keempat di dunia Islam setelah bahasa Arab, Persia, dan Turki Usmani pada waktu itu. Karya-karya Hamzah Fansuri tersebar berkat jasa Sultan Iskandar Muda yang mengirimkan kitab-kitab karya Hamzah Fansuri antara lain ke Melaka, Kedah, Sumatra Barat, Kalimantan, Banten, Gresik, Kudus, dan Ternate.


GUS DUR Kh Abdurahman Wahid Dalam Wasiatnya
Dalam pertemuan dengan sejumlah ulama Indonesia, tiba2 Gusdur mengambil mikrophon dan bercerita dengan gaya khasnya: " suatu ketika saya membaca kitab ini di sebuah masjid kecil di Maroko. Saya menangis tak tertahankan. Karena saking kerasnya, saya diusir oleh takmir masjid. Kitabul Akhlaq inilah yang dapat mengubah hidup saya. Kalau tidak membaca kitab ini, mungkin saya tidak akan menjadi presiden".

Saudaraku...Kitab yang dimaksud oleh Alm. Ialah Kitab Al-akhlq karangan Ahmad Amin. Tak istimewa memang, karena isi kitab ini tak lebih menarik dari magnum opuse-nya Al-Ghazali, "Ihya U'lumuddin". Anda tak akan temukan rangkaian kata2 indah seperti yang anda temukan dalam "fihi ma fihi"-nya seorang Rumi.

Tetapi kitab inilah yang sanggup membuat Alm. Meneteskan air matanya. Bukan Al-Ghazali, juga bukan Rumi. Ahmad Amin-lah yang membuat mata Beliau tergenang. Ahmad Amin sanggup meyakinkan hati Alm. akan hadist Nabi Saww: "Innama Bu'isttu Li Utammima Makarimal akhlak".

Bagi Amin, akhlak adalah perangai hati. Ia bak cermin bagi diri. Mustahil seorang dengan akhlak yang bagus akan mengeluarkan perkataan hina dina, sumpah serapah, bahkan kekeresan terhadap sesama manusia.

Akhlak akan menuntun ia untuk bersikap lemah lembut seperti Nabi yang selalu merendahkan suaranya. Akhlak pula yang akan menuntun ia untuk senantiasa tidak mengeluarkan keiri hatian hatinya. Dan akhlak pula yang mengajarkan ia bertoleransi terhadap seluruh umat manusia. Akhlak meyakinkan dia bahwa perbedaan ialah rakhmat dari Tuhan semesta alam.

Saudaraku...Oleh karenanya akhlak tak dapat kalian lihat, sebab ia tersemnbunyi. Aklaq bukanlah atribut-atribut keislaman. Ia tidak akan terlihat dari seberapa panjang jenggot anda atau seberapa fasih anda berbahasa arab. Tetapi akhlak ialah nilai. Dan ia dipupuk dengan seberapa sering anda mengamalkan nilai2 agama anda dan seberapa jauh anda memahami nilai2 tersebut.

Saudaraku...Teteskanlah air matamu, sebelum tiba hari di mana kita tak dapat meneteskan lagi air mata! Dan terimalah wasiat terakhir dari Alm. Gusdur: Kitabul Akhlaq!


Selamat menikmati hidangan.



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Go Blogger Indonesia

Go Blogger Indonesia
Go Blogger Indonesia

Popular Posts

 

http://www.jhoeydhyn.blogspot.com | |