1.
Buya hamka
buya hamka, sastrawan Buya Hamka lahir pada
tahun 1908 di desa kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat, HAMKA sendiri
merupakan singkatan dari nama beliau yakni Haji Abdul Malik Karim Amrullah,
Hamka merupakan putra dari Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yg juga merupakan
ulama di tanah minang, diawali bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di
Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun
1929. Hamka kemudian
dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah,
Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958.
Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam,
Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun
1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama
Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih
antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majelis Syuro Muslimin
Indonesia (Masyumi). Buya Hamka merupakan sosok otodidak dalam berbagai bidang
ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik
Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat
menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki
Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain
Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis,
Inggris dan Jerman, beliau juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan
tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas
Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo sambil
mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang andal. buya
hamka, juga seorang sastrawan.
Hamka aktif dalam Muhammadiyah, terpilih menjadi ketua Majlis
Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah,
menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Pada tahun 1953, Hamka
dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977,
Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum
Majelis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya mengundurkan diri pada tahun
1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
beliau juga wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun
1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita
Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928,
beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau
menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah
menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.
Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan
cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar dan antara
novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di
Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah
Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Deli.
·
karya-
karya buya HAMKA antara lain:
Khatibul Ummah, Jilid 1-3.
Ditulis dalam huruf Arab.
Si Sabariah. (1928)
Pembela Islam (Tarikh
Saidina Abu Bakar Shiddiq),1929.
Adat Minangkabau dan
agama Islam (1929).
Ringkasan tarikh Ummat
Islam (1929).
Kepentingan melakukan
tabligh (1929).
Margaretta Gauthier
(terjemahan) 1940.
Pandangan Hidup
Muslim,1960.
Kedudukan perempuan dalam
Islam,1973.
Referensi :
2. Syekh Abdur Rauf Al-Fansuri As-Singkili
Nama Syekh Abdur Rauf Al-Fansuri As-Singkili
yang memiliki nama panjang Syekh Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Al-Fansuri
Al-Singkili dilahirkan di Fansur dan dibesarkan di Singkil, Aceh, pada awal
abad ke-17 Masehi
Ulama besar asal Aceh ini sangat terkenal dengan pemikirannya.
Sejak kecil ia sudah mempelajari ilmu-ilmu zahir seperti tata bahasa Arab,
membaca Alquran dan tafsir, hadis dan fikih, mantiq (logik), filsafat,
geografi, ilmu falak, ilmu tauhid, sejarah dan pengobatan.
Ia pun sempat mendalami ilmu-ilmu batin seperti ilmu tasawwuf dan
tarekat. Dalam laman www.ddii.acehprov.go.id disebutkan, Abdul Rauf lalu
menjadi ahli (pakar) dalam ilmu-ilmu tersebut.
Di bidang keagamaan Abdul Rauf pertama kali belajar pada ayahnya,
Syehk Ali Fansuri yang bersaudara dengan Syekh Hamzah Fansuri. Menginjak remaja
Abdul Rauf menimba ilmu di Timur Tengah.
Berawal dari melaksanaan ibadah haji, ia lalu menetap selama 19
tahun di Timur Tengah. Nenek moyang Al-Singkili dipercaya berasal dari Persia
(Iran) dan datang ke Kesultanan Samudera
Pasai pada akhir abad ke-13. Mereka kemudian menetap di Fansur (Barus), kota
pelabuhan yang penting di pantai Sumatera Barat.
Tidak hanya di Makkah, ia juga mempelajari
ilmu agama dan tasawuf di Kota Madinah, di bawah bimbingan guru-guru terkenal. Di Madinah ini pula Abdul Rauf berkesempatan berguru pada khalifah
(pengganti) dari tarekat Syattariyah bernama Ahmad Kusyasyi dan juga Maula
Ibrahim.
Hal ini terungkap dalam kata penutup salah satu karya tasawuf yang
menyebutkan guru dan tradisi pengajaran yang diterimanya. Karya tasawufnya ini
juga menjadi model pewarisan sufisme di dunia sufi Melayu.
Dalam laman www.melayuonline.com disebutkan bahwa Abdul Rauf juga
berguru di beberapa kota di Timur Tengah meliputi kota-kota di Yaman, Doha di
Qatar hingga Kota Lohor di India. Disebutkan pula, Abdur Rauf mengamalkan 11
tarekat, di antaranya Syattariyah, Kadiriyah, Kubrawiyah, Suhrawardiyah, dan
Naqsyabandiyah.
\Ajaran
tasawuf pada banyak karya Abdul Rauf menekankan transendensi Tuhan di atas
makhluk ciptaan-Nya. Di mana ia menolak pandangan wujudiyyah, yang menekankan
imanensi Tuhan dalam makhluk ciptaan-Nya.
Dalam karyanya yang berjudul Kifayat Al-Muhtajin, ia berpendapat
bahwa Tuhan menciptakan alam semesta. Makhluk ciptaan-Nya sebagai wujud yang
mutlak tetap berbeda dari Tuhan. "Diumpamakan dengan tangan dan bayangan,
walau tangan sulit dipisahkan dengan bayangan, bayangan bukan tangan yang
sebenarnya," jelas dia.
Secara umum dan mudah dipahami bahwa Abdul Rauf ingin mengajarkan
tentang harmoni antara syariat dan sufisme. Keduanya harus bekerja sama. Hanya
melalui kepatuhan pada syariat maka seorang yang berada di jalan sufi bisa
menemukan hakikat kehidupannya.
Pandangan ini berseberangan dengan pendekatan Nuruddin Al-Raniri.
Namun, ia cenderung memilih jalan damai dan sejuk untuk berinteraksi dengan
aliran wujudiyyah. Ia tak secara terbuka menyatakan menentang
pandangan-pandangan lain. Jalan damai ini lantas mengurangi pertentangan dalam
Islam akibat tafsir yang kurang tepat.
Sejalan dengan kepatuhan total pada syariat, Abdul Rauf berpendapat
bahwa dzikir penting bagi orang yang menempuh jalan tasawuf, seperti terkandung
dalam karyanya bertajuk Umdat Al-Muhtajin ila Suluk Maslak Al-Mufradin, di mana
dasar dari tasawuf adalah dzikir yang berfungsi mendisiplinkan kerohanian
Islam.
Dalam berdzikir ada dua metode yang diajarkannya, yaitu dzikir
keras dan dzikir pelan. Dzikir keras seperti pengucapan "La ilaha illa
Allah" sebagai penegasan akan keesaan Sang Pencipta. Dzikir menurut dia
bukanlah membayangkan kehadiran gambar Tuhan melainkan melatih untuk memusatkan
diri.
Di samping itu, Abdul Rauf berpandangan bahwa tauhid menjadi pusat
dari ajaran tasawuf. Pandangan-pandangan dasar Abdul Rauf tentang tasawuf ini
tertera dalam kitab Tanbih Al-Masyi. La ilaha illa Allah menurut dia, memiliki
empat tingkatan tauhid: penegasan, pengesahan ketuhanan Allah, mengesahkan
sifat Allah dan mengesahkan dzat Tuhan.
Abdul Rauf sebelumnya sudah mendapatkan ajaran tentang ilmu tasawuf
tentang tarekat Syattariyyah dan tarekat Qadiriyyah. Sampai akhirnya ia diberi
ijazah dalam dua tarekat tersebut. Karena itu, ia mendapat gelaran
"Syekh" yang artinya pemimpin tarekat. Dalam mempelajari tarekat ini
Abdul Rauf juga belajar kepada dua orang guru India yang berada di Tanah Arab;
Syekh Badruddin Lahori dan Syekh Abdullah Lahori.
Di bidang syariat, Abdul Rauf menyusun sebuah kitab yang lengkap
membahas perkara syariat.
Hasil pemikirannya tentang hal-hal yang terkait permasalahan
kehidupan sehari-hari terangkum dalam kitab berbahasa melayu dengan judul Mirat
Al-Turab fi Tashil Ma‘rifah Al-Ahkam Al-Syar'iyyah li Al-Malik Al-Wahab (Cermin
Para Penuntut Ilmu untuk Memudahkan Tahu Hukum-hukum Syara' dari Tuhan).
Dengan segala pengetahuan dan pemahamannya, Abdul memilih tak
membahas tentang tata cara ibadah, melainkan menuliskan pandangannya terhadap
hukum atau tata cara yang aplikatif dalam menjalani kehidupan sehari-hari
berdasarkan Alquran.
Dalam kitab Mirat Al-Turab dibahas tiga hal utama, yaitu hukum
perdagangan dan undang-undang sipil atau kewarganegaraan, hukum perkawinan, dan
hukum tentang jinayat atau kejahatan.
Hukum perdagangan dan UU sipil mencakup urusan jual beli, hukum
riba, kemitraan dalam berdagang, perdagangan buah-buahan, sayuran,
utang-piutang, hak milik atau harta anak kecil, sewa menyewa, wakaf, hukum
barang hilang dan lainnya.
Di bidang hukum perkawinan dibahas tentang nikah, wali, upacara
perkawinan, hukum talak, rujuk, fasah dan nafkah. Sedang hukum jinayat membahas
tentang hukuman pemberontakan, perampokan, pencurian, perbuatan zina dan hukum
membunuh.
Dalam bidang tafsir Abdul Rauf menghasilkan karya berjudul Tarjuman
Al-Mustafid. Sebuah karya terjemahan Alquran dalam bahasa Melayu dari kitab
tafsir yang lain, atau disebut Tafsir Al-Jalalain.
Sampai akhir hayatnya, ia belum sempat menyelesaikan tafsir ini
sehingga karya ini lalu diselesaikan oleh muridnya, Daud Rumi, dan beberapa
pengarang lainnya.
Merintis tafsir Alquran dalam bahasa Melayu
Seperti tertulis dalam laman www.psq.or.id, disebutkan bahwa hampir
semua pengkaji sejarah Alquran dan tafsir di Indonesia sepakat menjadikan Abdul
Rauf Al-Singkili sebagai perintis pertama tafsir di Indonesia, bahkan di dunia
Melayu.
Tafsir yang bernama Tarjuman Al-Mustafid ini sangat diterima dan
mendapat tempat di kalangan umat Muslim. Tidak hanya di Indonesia, tafsir ini
pernah diterbitkan di Singapura, Penang, Bombay, Istanbul, Kairo dan Makkah.
Dua pendapat besar dilontarkan para ahli tentang tafsir ini.
Pertama, terjemahan tersebut lebih mirip sebagai terjemahan Tafsir Al-Baidhawi,
yang juga mencakup terjemahan Tafsir Jalalain. Dan tafsir tersebut mengambil
sumber dari berbagai karya tafsir berbahasa Arab.
Kedua, Tarjuman Al-Mustafid adalah terjemahan Tafsir Jalalain. Dan
hanya pada bagian tertentu saja tafsir tersebut memanfaatkan Tafsir Al-Baidhawi
dan Tafsir Al-Khazin. Lebih khusus disebutkan karya Syekh Abdul Rauf ini
sebagai saduran daripada sebagai terjemahan.
Metodologi tafsir yang digunakan Abdul Rauf dinilai sangat
sederhana. Tafsir Al-Jalalain yang dikenal sangat ringkas dan padat di tangan
Abdul Rauf diterjemahkan menjadi lebih ringkas. Ia menerjemahkan kata per kata
tanpa menambahkan pemahaman-pemahamannya sendiri. Penjelasan yang tidak perlu
pada Tafsir Al-Jalalain ditinggalkannya.
Waktu tepat kapan tafsir ini disusun tidak pernah diketahui, karena
Abdul Rauf tidak pernah menulis angka tahun. Namun, rintisan tafsir ini
diabadikan oleh seluruh pencinta tafsir Alquran di Tanah Melayu, dengan
menjadikan Tafsir Jalalain sebagai tafsir standar atau tafsir pemula yang
dipelajari di hampir seluruh pesantren di Nusantara./ROL
3.
Yusuf al-makasari
Sejarah mencatat sejumlah nama ulama penyebar Islam di Gowa, di
antaranya Syekh Yusuf al-Makassari. Nama lengkapnya Muhammad Yusuf bin Abdullah
Abu al-Mahasin at-Taj Khalwati al-Makassari, yang kemudian lebih terkenal di
Sulawesi dengan gelar Tuanta Salamakari Goa (Guru Kami yang Agung dari Gowa).
Ia merupakan ulama terkemuka nusantara pada abad ke-17 M yang berasal dari
Gowa.
Sejak kecil, Syekh Yusuf dipersiapkan oleh ayahnya untuk menjadi
mubaligh. Ia belajar ilmu agama Islam dari Sayid Ba Alwi bin Abdullah at-Tahir,
seorang ulama asal Arab yang menetap di Bontoala, Makassar. Pada masa itu,
Bontoala menjadi pusat pengajaran Islam.
Setelah beberapa lama belajar kepada Sayid Ba Alwi, Syekh Yusuf
memutuskan untuk kembali ke Gowa dan menikah dengan putri Raja Gowa Sultan
Alauddin.
Di Gowa, ia menyebarluaskan ilmu agama yang diperolehnya dari Sayid
Ba Alwi kepada masyarakat setempat.
Pada 1644, beliau memutuskan meninggalkan istrinya untuk memulai
pengembaraan menuntut ilmu di luar daerahnya. Dia ke Banten, kemudian ke Aceh
untuk memperdalam ilmu agamanya selama lima tahun.
Setelah dari Aceh, ia melanjutkan perjalanan ke Timur Tengah untuk
melanjutkan menuntut ilmu. Syekh Yusuf kembali ke nusantara sekitar 1664 M atau
1672 M, setelah mengembara selama 28 tahun di Timur Tengah.
Sebagian sumber menyebutkan bahwa ia kembali ke Gowa sebelum
akhirnya menuju Banten. Di Banten, ia menikahi putri Sultan Ageng Tirtayasa. Ia
kemudian memilih untuk menetap di Banten.
Pengetahuan yang luas yang dimiliki oleh Syekh Yusuf menjadikan
Banten terkenal dengan pusat pendidikan Islam dan menjadikan Syekh Yusuf
menjadi ulama yang terkemuka. Banyak orang yang datang dari penjuru nusantara
untuk menjadi muridnya.
Sedangkan, Syekh Yusuf ditangkap oleh pasukan Belanda karena
kegigihannya mengusir penjajah dari bumi nusantara. Pada September 1684, Syeikh
Yusuf al-Makassari bersama dua istrinya, beberapa anak, 12 murid, dan sejumlah
perempuan pembantu dibuang ke Pulau Ceylon, kini Sri Lanka.
Dari Sri Lanka, Syekh Yusuf beserta para pengikutnya kemudian
dibuang ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Di Afrika Selatan, Syekh Yusuf
tetap berdakwah dan memiliki banyak pengikut. Ia pun mengembuskan napas
terakhirnya pada 23 Mei 1699 M.
4.
Hamzah Fansuri
Syeikh Hamzah
Fansuri adalah seorang cendekiawan, ulama tasawuf, dan budayawan terkemuka yang
diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke-16 sampai awal abad ke-17. Nama
gelar atau takhallus yang tercantum di belakang nama kecilnya memperlihatkan
bahwa pendekar puisi dan ilmu suluk ini berasal dari Fansur, sebutan
orang-orang Arab terhadap Barus, sekarang sebuah kota kecil di pantai barat
Sumatra yang terletak antara kota Sibolga dan Singkel sampai abad ke-16 kota
ini merupakan pelabuhan dagang penting yang dikunjungi para saudagar dan
musafir dari negeri-negeri jauh.
Sayang sekali bukti-bukti tertulis yang dinyatakan kapan sebenarnya
Syeikh Hamzah Fansuri lahir dan wafat, di mana dilahirkan dan di mana pula
jasadnya dibaringkan dan di tanam, tak dijumpai sampai sekarang. Dari syair dan
dari namanya sendiri sudah sekian lama berdominasi di Fansur, dekat Singkel,
sehingga mereka dan turunan mereka pantas digelari Fansur. Konon saudara Hamzah
Fansuri bernama Ali Fansuri, ayah dari Abdur Rauf Singkel Fansuri. Pada ahli
cenderung memahami dari syair bahwa Hamzah Fansuri lahir di tanah Syahmawi,
tapi tidak ada kesepakatan mereka dalam mengidentifikasikan tanah Syahmawi itu,
ada petunjuk tanah Aceh sendiri ada yang menunjuk tanah Siam, dan bahkan ada sarjana
yang menunjuk negeri Persia sebagai tanah yang di Aceh oleh nama Syamawi.
KARYA - KARYA
Syair-syair Syeikh
Hamzah Fansuri terkumpul dalam buku-buku yang terkenal, dalam kesusasteraan
Melayu / Indonesia tercatat buku-buku syairnya antara lain :
Syair burung pingai, Syair dagang,
Syair pungguk dll.
Karangan-karangan Syeikh Hamzah Fansuri yang berbentuk kitab ilmiah
antara lain :
Asfarul ‘arifin fi bayaani ‘ilmis suluki wa tauhid, Syarbul
‘asyiqiin, Al-Muhtadi, Ruba'i Hamzah
al-Fansuri
Karya-karya Syeikh
Hamzah Fansuri baik yang berbentuk syair maupun berbentuk prosa banyak menarik
perhatian para sarjana baik sarjana barat atau orientalis barat maupun sarjana
setempat, yang banyak membicarakan tentang Syeikh Hamzah Fansuri antara lain
Prof. Syed Muhammad Naquib dengan beberapa judul bukunya mengenai tokoh sufi
ini, tidak ketinggalan seumpama Prof. A. Teeuw juga r.O Winstedt yang diakuinya
bahwa Syeikh Hamzah Fansuri mempunyai semangat yang luar biasa yang tidak
terdapat pada orang lainnya. Dua orang yaitu J. Doorenbos dan Syed Muhammad
Naquib al-Attas mempelajari biografi Syeikh Hamzah Fansuri secara mendalam
untuk mendapatkan Ph.D masing-masing di Universitas Leiden dan Universitas
London. Karya Prof. Muhammad Naquib tentang Syeikh Hamzah Fansuri antaranya -
The Misticim of Hamzah Fansuri (disertat 1966), Universitas of Malaya Press
1970
- Raniri and The Wujudiyah, IMBRAS, 1966
- New Light on Life of Hamzah Fansuri, IMBRAS, 1967
PEMIKIRAN
Dari karya-karya
yang ditulis mengenai Hamzah Fansuri menunjukkan kelebihan yang sangat menonjol
dalam bidangnya dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain pada masanya. Pada mulanya
Hamzah Fansuri mempelajari ilmu tasawuf setelah menjadi anggota tarekat
Qadiriyah yang didirikan oleh Abdul Qadir Jailani. Valentijn, seorang sarjana
Belanda yang mengunjungi Barus pada tahun 1706, mengomentari tentang Hamzah
Fansuri : Seorang penyair Melayu, Hamzah Fansuri...yakni seorang yang sangat
terkemuka di lingkungan orang-orang Melayu oleh karena syair-syair dan
puisi-puisinya yang menakjubkan, membuat kita karib kembali dengan kota tempat
lahir sang penyair bilamana di dalam puisi-puisinya yang agung dia mengangkat
naik dari timbunan debu kebesaran dan kemegahan masa lampau kota itu dan
mencipta kembali masa-masa gemilang dan kebesarannya.
Syair-syair
Hamzah Fansuri yang diketahui tidak kurang 32 untaian. Syair-syairnya dianggap
sebagai syair Melayu pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu, yaitu sajak
empat baris dengan pola bunyi akhir a a a a pada setiap barisnya.
Ciri-ciri
sajaknya yang menonjol di antaranya menjadi semacam konvensi sastra atau puisi
Melayu klasik. Pertama, pemakaian penanda kepengarangan. Kedua, banyak petikan
ayat Alquran, hadis, pepatah, dan kata-kata Arab. Itu menunjukkan derasnya
proses Islamisasi yang untuk pertamakalinya melanda bahasa, kebudayaan dan
sastra Melayu abad ke-16. Ketiga, dalam setiap bait terakhir syairnya selalu
mencantumkan takhallus (nama diri), yaitu nama julukan yang biasanya didasarkan
pada nama tempat kelahiran penyair atau tempat ia dibesarkan. Keempat, terdapat
pula tamsil dan citraan-citraan simbolik atau konseptual yang biasa digunakan
oleh penyair-penyair Arab dan Persia dalam melukiskan pengalaman dan gagasannya.
Kelima, karena paduan yang seimbang antara diksi (=pilihan kata), rima dan
unsur-unsur puitik lainnya.
Syair-syair
Hamzah Fansuri menciptakan suasanan ekstase dalam pembacaannya, seperti halnya
suasana para sufi saat melakukan wirid, yaitu konser musik yang disertai zikir,
nyanyian, dan pembacaan sajak. Ciri lain yang dapat ditambahkan sebagaimana
puisi penyair sufi pada umumnya, syair-syair Hamzah Fansuri memadukan
metafisika, logika, dan estetika secara seimbang.
Winstedt
mengatakan bahwa syair-syair Hamzah Fansuri kebanyakan memakai irama pantun,
meskipun urutan sajaknya mengikuti urutan sajak syair. Mengenai syair Hamzah
Fansuri, C. Hoykas dalam bukunya Perintis Sastra mengemukakan pendapat antara
lain bahwa karangan-karangan Hamzah Fansuri bukan saja banyak memakai nama-nama
Arab tetapi juga banyak mempergunakan kata-kata Arab di dalamnya. Oleh karena
itu, karangan-karangan Hamzah Fansuri tidak mudah dipahami oleh orang biasa.
Pengaruh Hamzah Fansuri cepat tersebar di seluruh tempat di Indonesia dan
Malaysia terutama melalui pengajaran-pengajaran yang beliau berikan selama
perantauan ke berbagai tempat dan melalui karya-karyanya yang tersebar di
seluruh Asia Tenggara. Murid-muridnya pun tersebar pula di mana-mana. Hamzah
Fansuri bukan saja seorang ulama tasawuf dan sastrawan terkemuka tetapi juga
seorang perintis dan pelopor pembaharuan. Sumbangannya sangat besar bagi
perkembangan kebudayaan Islam di Nusantara, khususnya di bidang kerohanian,
keilmuan, filsafat, bahasa, dan sastra. Di bidang keilmuan, Hamzah Fansuri
telah mempelopori penulisan risalah tasawuf atau keagamaan yang demikian
sistematis dan bersifat ilmiah. Sebelum karya-karya Hamzah Fansuri muncul,
masyarakat Melayu mempelajari masalah-masalah agama, tasawuf, dan sastra
melalui kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab dan Persia.
Dalam bidang
sastra, Hamzah Fansuri mempelopori pula penulisan puisi-puisi filosofis dan
mistis bercorak Islam. Kedalaman kandungan puisi-puisinya sukar ditandingi oleh penyair lain yang sezaman bahkan sesudahnya.
Dalam bidang kesusastraan pula, ia orang pertama yang memperkenalkan syair dan
puisi empat baris dengan skema sajak akhir a a a a seperti telah disinggung
sebelumnya. Dilihat dari strukturnya, syair yang diperkenalkan oleh Hamzah
Fansuri seolah-olah merupakan perpaduan antara sajak Persia dengan pantun
Melayu.
Hamzah
Fansuri juga telah berhasil meletakkan dasar-dasar puitika dan estetika Melayu.
Pengaruh itu masih dapat diamati jauh setelah ia mati bahkan hingga sekarang,
seperti dalam karya penyair Pujangga Baru, sastrawan angkatan 70-an dan
sebagainya, berada dalam satu jalur estetik dengan Hamzah Fansuri. Bidang
kebahasaan, Hamzah Fansuri telah memberikan beberapa sumbangan. Pertama,
sebagai penulis pertama kitab keilmuan dalam bahasa Melayu, ia berhasil
mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa intelektual dan ekspresi keilmuan yang
hebat. Dengan demikian, kedudukan bahasa Melayu di bidang penyebaran ilmu dan
persuratan menjadi sangat penting dan mengungguli bahasa-bahasa Nusantara
lainnya pada waktu itu. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada
sekitar abad ke-17, bahasa Melayu menjadi bahasa pengantar pada berbagai
lembaga pendidikan Islam, bahkan digunakan pula oleh Pemerintah Hindia Belanda
sebagai bahasa administrasi dan bahasa pengantar di sekolah-sekolah pemerintah.
Itulah yang telah memberikan peluang besar terhadap bahasa Melayu bukan saja
untuk berkembang maju tetapi juga untuk dipilih dan ditetapkan menjadi bahasa
persatuan dan kebangsaan Indonesia. Sumbangan/pemikiran selanjutnya mengenai
kebahasaan dapat dibaca dalam syair-syair dan risalah-risalah tasawuf Hamzah
Fansuri, sangat besar jasanya dalam proses Islamisasi bahasa Melayu. Islamisasi
bahasa sama saja dengan Islamisasi pemikiran dan kebudayaan. Syair-syairnya
bukan saja memperkaya perbendaharaan kata bahasa Melayu tetapi juga
mengintegrasikan konsep-konsep Islam dalam berbagai bidang kehidupan dalam
sistem bahasa dan budaya Melayu.
Dalam
bidang filsafat, ilmu tafsir dan telaah sastra, Hamzah Fansuri telah pula
mempelapori penerapan metode takwil atau hermeneutika keruhanian. Sebagai
contoh, dalam tulisannya Rahasia Ahli Makrifat, Hamzah Fansuri menganalisis
dengan tajam dan dengan landasan pengetahuan yang luas mencakup metafisika,
teologi, logika, epistemologi, dan estetika. Murid Hamzah Fansuri yang terkenal
ialah Syekh Syamsuddin bin Abdullah as Samathrani, sangat berpengaruh dalam
kehidupan keagamaan di Kesultan Aceh Darussalam, terutama pada masa pemerintahan
Sayid al Mukammal dan Sultan Iskandar Muda. Pendirian Syekh Syamsuddin itu
merupakan cerminan pendirian Hamzah Fansuri. Hal itu tidak saja dapat dilihat
dari seluruh karya Syamsuddin, bahkan karyanya tersebut dapat dianggap
memperjelas pendirian Hamzah Fansuri. Salah satu pandangan dan uraian
Syamsuddin atas karya Hamzah Fansuri berjudul Ruba-i Hamzah Fansuri.
Perbedaan Faham
Setelah Sultan
Iskandar Muda meninggal, ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin mendapat serangan
hebat dari ulama besar lainnya yaitu Nuruddin Ar-Raniri dan Abdurrauf Al
Singkili. Bentuk dan sifat pertentangan ini berpangkal pada adanya dua aliran
dalam ilmu tasawuf yang memang sulit untuk dikompromikan. Aliran pertama
seperti sudah disebutkan yaitu wujudiyah, teori ini merupakan monisma (serba
esa). Menurut ahli tasawuf dari aliran itu, dunia hanyalah emanasi atau
pancaran dari inti sari yang tidak tercipta. Aliran yang kedua wihdatussyuhud
yakni kesatuan persaksian. Pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda sebenarnya
telah ada benih-benih pertentangan kedua aliran tasawuf tersebut tetapi dengan
kebijaksanaan Sultan Iskandar Muda pertentangan itu tidak sampai menimbulkan
kekacauan di lapangan kehidupan keagamaan. Sesudah Sultan Iskandar Muda
meninggal maka Syekh Nuruddin Ar Raniri berhasil mempengaruhi Sultan Iskandar
Sani untuk meberantas ajaran-ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As Samathrani
yang dianggap olehnya sebagai ajaran sesat. Buku-buku karya Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin as Samathrani dibakar dan dimusnahkan. Rakyat Aceh dilarang menganut
faham kedua tokoh tersebut.
Tentang karya
dan pemikiran-pemikiran Hamzah Fansuri banyak yang sulit difahami, oleh sebab
itu telah mengakibatkan pula penafsiran-penafsiran yang berbeda terhadap buah
pikirannya. Monteil menyimpulkan dengan mengutip sebagian tulisan P. Zoetmulder
: mungkin P. Zoetmulder yang benar, kalau menulis bahwa Ar-Raniri yang
merupakan muslim terbaik, tetapi Syamsuddin adalah ahli pikir yang terbaik.
Bagaimana kita tidak boleh mengagumi syair perahu dari Hamzah Fansuri yang
wujud Allah nama perahunya.
Masa Wafat
Hamzah
Fansuri, ulama sufi, sastrawan dan cendekiawan yang hidup pada pertengahan abad
ke-16 dan awal abad ke-17 di Fansur, meninggal dan dikuburkan di Desa Oboh
Kecamatan Rundeng Kabupaten Aceh Singkil.
Kehidupan Hamzah
Fansuri tidak terlepas dari proses alur sejarah secara langsung maupun tidak
langsung terikat dengan perjalanan agama Islam di Nusantara. Aliran tasawuf
berdasarkan faham wujudiyah yang diaplikasikan dalam kehidupan dan dipaparkan
dengan lirik sastra Melayu merupakan orang pertama yang mempelopori
pengembangan sastra Melayu di Nusantara.
Membicarakan
Hamzah Fansuri sebagai tokoh fenomenal, baik sebagai penyair, ulama dan
sekaligus intelektual maka tidak akan habis-habis untuk mengurai segi-segi
kehidupan maupun karya-karyanya. Sebagai penyair Melayu klasik namanya tetap
abadi. Ia adalah seorang penyair besar, sekaligus seorang ulama yang
mengemukakan ide-idenya melalui puisi maupun prosa. Pikiran-pikiranya tentang
masalah keagamaan terutama tentang hubungan manusia dengan Tuhannya, yang dalam
faham keagamaan pikiran-pikiran Hamzah Fansuri dimasukkan dalam kategori
wujudiyah.
Karya
tulis Hamzah Fansuri dapat dikatakan sebagai peletak dasar bagi peranan bahasa
Melayu sebagai bahasa keempat di dunia Islam setelah bahasa Arab, Persia, dan
Turki Usmani pada waktu itu. Karya-karya Hamzah Fansuri tersebar berkat jasa
Sultan Iskandar Muda yang mengirimkan kitab-kitab karya Hamzah Fansuri antara
lain ke Melaka, Kedah, Sumatra Barat, Kalimantan, Banten, Gresik, Kudus, dan
Ternate.
GUS DUR Kh Abdurahman Wahid Dalam Wasiatnya
Dalam pertemuan dengan sejumlah ulama Indonesia, tiba2 Gusdur mengambil mikrophon dan bercerita dengan gaya khasnya: " suatu ketika saya membaca kitab ini di sebuah masjid kecil di Maroko. Saya menangis tak tertahankan. Karena saking kerasnya, saya diusir oleh takmir masjid. Kitabul Akhlaq inilah yang dapat mengubah hidup saya. Kalau tidak membaca kitab ini, mungkin saya tidak akan menjadi presiden".
Saudaraku...Kitab yang dimaksud oleh Alm. Ialah Kitab Al-akhlq karangan Ahmad Amin. Tak istimewa memang, karena isi kitab ini tak lebih menarik dari magnum opuse-nya Al-Ghazali, "Ihya U'lumuddin". Anda tak akan temukan rangkaian kata2 indah seperti yang anda temukan dalam "fihi ma fihi"-nya seorang Rumi.
Tetapi kitab inilah yang sanggup membuat Alm. Meneteskan air matanya. Bukan Al-Ghazali, juga bukan Rumi. Ahmad Amin-lah yang membuat mata Beliau tergenang. Ahmad Amin sanggup meyakinkan hati Alm. akan hadist Nabi Saww: "Innama Bu'isttu Li Utammima Makarimal akhlak".
Bagi Amin, akhlak adalah perangai hati. Ia bak cermin bagi diri. Mustahil seorang dengan akhlak yang bagus akan mengeluarkan perkataan hina dina, sumpah serapah, bahkan kekeresan terhadap sesama manusia.
Akhlak akan menuntun ia untuk bersikap lemah lembut seperti Nabi yang selalu merendahkan suaranya. Akhlak pula yang akan menuntun ia untuk senantiasa tidak mengeluarkan keiri hatian hatinya. Dan akhlak pula yang mengajarkan ia bertoleransi terhadap seluruh umat manusia. Akhlak meyakinkan dia bahwa perbedaan ialah rakhmat dari Tuhan semesta alam.
Saudaraku...Oleh karenanya akhlak tak dapat kalian lihat, sebab ia tersemnbunyi. Aklaq bukanlah atribut-atribut keislaman. Ia tidak akan terlihat dari seberapa panjang jenggot anda atau seberapa fasih anda berbahasa arab. Tetapi akhlak ialah nilai. Dan ia dipupuk dengan seberapa sering anda mengamalkan nilai2 agama anda dan seberapa jauh anda memahami nilai2 tersebut.
Saudaraku...Teteskanlah air matamu, sebelum tiba hari di mana kita tak dapat meneteskan lagi air mata! Dan terimalah wasiat terakhir dari Alm. Gusdur: Kitabul Akhlaq!
Selamat menikmati hidangan.