Senopati sangat ingin mempersatukan Pulau Jawa termasuk Banten dibawah kekuasaan Mataram dan menguasai perdagangan di wilayah Asia Selataan, namun pada tahun 1601 Senopati wafat setelah menaklukkan Cirebon dan selanjutnya digantikan oleh putranya, Sultan Anyokrowati, beliau wafat pada tahun 1613. Setelah itu muncullah Sultan Agung Anyokrokusumo, beliau mempunyai hubungan baik dengan Portugis yang waktu itu menduduki Malaka, sebab Mataram menggunakan Malaka untuk jalan atau pintu gerbang impor dan ekspor, sementara itu ia melarang rakyatnya menjual beras kepada pihak Belanda. (Sejarah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta, 1997:85-86)
Setelah Sultan Agung wafat, digantikan oleh Amangkurtat I yang tidak sama sekali memperhatikan kesejahteraan rakyat karena ia takut kalau rakyat hidupnya makmur itu akan mengancam posisinya, dan ia pun bersikap sangat lemah terhadap pihak Belanda. Amangkurat I memonopoli perdagangan beras dan mengadakan larangan untuk melakukan pelayaran, akibatnya perdagangan di Pulau Jawa terhambat dan rakyat jawa tidak lagi mempunyai kecakapan di luar.
Amangkurat melakukan berbagai kesepakatan dengan VOC yang merupakan musuh ayahnya sendiri, Sultan Agung Hanyokrokusumo. Pada 1946 dia mengadakan penjanjian kepada VOC yang berisi bahwa VOC diperbolehkan menbangun pos-pos dagang di wilayah Mataram. Sebagai balasannya, VOC memperbolehkan Mataram berlayar dan berdagang di wilayah kekuasaannya. Kedua belah pihak juga saling tukar tawanan. Amangkurat sendiri menganggap bahwa hal tersebut merupakan bukti takluknya VOC atas Mataram. Namun ternyata anggapan itu salah ketika Mataram tergoncang akibat VOC mengusai wilayah Palembang pada tahun 1959. Sementara hubungan dengan pihak luar lain seperti terhadap Banten dan Makasar juga memburuk. Banten diserang oleh Mataram yeng menggunakan Cirebon sebagai pasukannya, namun gagal. Sedangkan utusan dari Hasanuddin dilecehkan oleh Sultan.
Para alim ulama pun juga ditentang olehnya, oleh karena itu banyak yang menentang Amangkurat I. Sikap Amangkurat yang tidak suka terhadap pihak ulama ini juga disebabkan karena ceramah dan ajaran Islam bisa merusak legitimasinya sebagai raja. Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa dalam Islam mengajarkan seorang pemimpin tidaklah jelmaan Tuhan atau diutus langsung untuk menyampaikan wahyu Tuhan. Namun karena pada masa itu sistem Feodalisme di Jawa masih sangat kental, maka Sultan menentangnya. Ajaran Islam dianggap akan meruntuhkan derajatnya sebagai raja. Padahal, sebelumnya sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa sultan sebelumnya sangat menghormati agama Islam. Sultan Agung mendorong proses Islamisasi kebudayaan Jawa(Purwadi, 2007:312). Namun Putra Sultan Agung malah terlihat merusak proses tersebut.
Ketidaksukaan terhadap Raja tidak hanya datang dari pihak luar namun pihak di dalam Kerajaan pun juga menentangnya, penentangan terutama datang dari Pangeran Anom yang bersekutu dengan Trunojoyo (Pangeran dari Madura). Kerjasama kedua Pangeran ini tidak berjalan indah, sebab pada akhirnya Pangeran Anom menjauhi Trunojoyo karena Trunojoyo adalah pihak pemberontak, oleh sebab itu ia takut posisinya juga terancam. Melihat keraguan dari Pangeran Anom, Trunojoyo segera menduduki Kerta pada tahun1677. Trunojoyo memakai pasukan yang ada di wilayah Kediri yang terdiri dari pasukan laskar-laskar Madura dan Makasar. Patut diketahui bahwa Trunajaya juga mendapat bantuan dari Karaeng Galesong. Karaeng Galesong adalah seorang pimpinan pasukan Makasar dan merupakan anak buah dari Hasanuddin yang telah dikalahkan oleh VOC . Melihat saat itu memang Amangkurat I terlihat sangat dekat dengan VOC, maka Karaeng bersedia membantu Trunajaya. Karena Kerta sudah diduduki oleh Pangeran Anom, Amangkurat I beserta para pengikut lainnya melarikan diri ke Batavia untuk meminta perlindungan dari pihak Belanda. Dalam pelariannya ini Amangkurat I wafat di sebuah tempat yang bernama Tegal Arum. Oleh karena itu dia juga disebut Sunan Tegal Arum.
Setelah berhasil menang, Trunajaya berhasil mendirikan pemerintahannya sendiri dan menguasai hampir seluruh kekuasaan di pesisir Jawa. Pangeran Anom yang takut tidak diberi kekuasaan oleh Trunajaya memilih lebih memihak kepada ayahnya yang sudah bersekongkol dengan VOC. Setelah kematian ayahnya yang mewasiatkannya untuk meminta pertolongan pada VOC. Pangeran Anom pun bergelar Amangkurat II.
Perjanjian dengan VOC sendiri ditandai dengan diadakannya perjanjian Jepara pada 1677. VOC mau membantu Amangkurat II asal dengan kesepakatan yang menguntungkan pihaknya. VOC meminta setelah nanti menang atas Trunajaya, mereka mendapat wilayah pesisir Jawa. Amangkurat II pun sepakat dengan keputusan itu. VOC dibawah Gubernur Jenderalnya yangitu Cornelis Speelman mengerahkan armada laut dari laskar Bugis dibawah pimpinan Aru Palaka dari Bone. Di darat, dia mengerahkan kekuatan dari Maluku yang dipimpin Kapitan Jonker dengan tambahan pasukan Amangkurat II sendiri. Dengan pasukan seperti itu, Trunojoyo dapat dilumpuhkan. Dia diserahkan oleh VOC kepada Amangkurat II dan diputuskan untuk dihukum mati. Tampaknya disini VOC memanfaatkan betul kondisi di Mataram untuk memperkuat cengkramannya. Tidak hanya lagi dalam bidang ekonomi, namun juga sedah merambah ke bidang politik.
Amangkurat II menjalankan betul pesan ayahnya bahwa dia harus dekat dengan VOC. Telihat dari busana yang dia kenakan. Dia adalah Sunan pertama yang memakai pakaian ala orang eropa. Amangkurat juga membangun keraton baru yaitu keraton Kartasura. Hal ini dikarenakan keraton yang ada di Plered sudah dikuasai oleh Pangeran Puger setelah kraton ditinggal oleh Trunajaya. Amangkurat II naik tahta di Kartasura atas bantuan VOC. Namun hal ini harus dibayar mahal oleh Amangkurat II. Perjanjian dengan VOC mengharuskan dia membayar sebesar 2,5 juta Gulden sebagai imbalan jasa atas berkuasanya Amangkurat di Kartasura.
Dengan beban besar dari hutang tersebut, diam-diam Amangkurat II mencari sekutu untuk menyingkirkan VOC. Dia berkirim surat kepada Palembang, Johor dan wilayah lainnya yang intinya untuk memerangi kekuasaan Belanda. Amangkurat II juga menampung buronan VOC yang bernama Untung Suropati yang dibiarkan tinggal dirumah patihnya. Pada saat VOC mengirimkan Francois Tack untuk memburu Untung, Amangkurat II berpura-pura membantunya namun membiarkan pasukan Untung menyerang pasukan Tack hingga kalah. Sikap mendua ini diketahui oleh VOC yang tentu murka mendengar hal ini. Mereka mendesak kepada Mataram(Kartasura) untuk melunasi hutang-hutangnya. Amangkurat Iiakhirnya meninggal pada tahun 1703.
Wafatnya AmangkuratII menyebabkan pertentangan di dalam keluarga Kerajaan Mataram. Hal ini memberi peluang bagi VOC untuk mengobrak abrik Kesultanan Mataram. Hal pertama yang dilakukan oleh VOC adalah membantu Pangeran Puger (adik Amangkurat II) untuk melawan putra Amangkurat II (Sunan Mas) yang telah menjadi Amangkurat III demi merebut kekuasaan yang dimiliki oleh Amangkurat III. Hal ini dikarenakan Amangkurat III sudah tidak sesuai lagi dalam melakukan kerjasama yang menguntungkan pihak VOC. Jadi mereka berusaha masuk turut campur dalam pemilihan kekuasaan di Mataram yang seharusnya menjadi hak internal dari Mataram. VOC tentu menjalankan politik devide et empera yang mengadu domba pihak-pihak yang berselisih dalam kekuasaan di Kartasura. Ini juga didukung dengan adanya pihak yang bertikai yaitu antara Pangeran Puger yang merupakan adik dari Amangkurat II dan Amangkurat III yang merupakan anak dari Amangkurat II.
Kerasnya persaingan memperebutkan tahta antara Pangeran Puger dan Amangkurat III makin memanas ketika Amangkurat III memerintahkan Pangeran Puger dibunuh. Pangeran Puger yang mengetahui itu berusaha lari ke Semarang hingga dia gagal dibunuh. Di Semarang inilah Pangeran Puger meminta bantuan VOC untuk menyerang Amangkurat III sekaligus menyerahkan tahta kerajaan kepadanya. Hal ini disetujui oleh VOC dengan balasan yang menguntungkan VOC. Setelah terjadi kata sepakat maka pasukan Pangeran Puger dan VOC menyerang Kartsura pada 1705. Menyadari hal ini, Amangkurat III menyiapkan pasukannya di Ungaran dibawah pimpinan Arya Mataram. Namun penunjukan Arya Mataram sebagai pimpinan pasukan ini ternyata salah. Arya Mataram yang notabene merupakan kakak dari Pangeran Puger memilih berpihak pada Pangeran Puger. Dia menghianati Amangkurat III dan menyuruhnya lari dari Kartasura. Amangkurat III lari ke wilayah Ponorogo dengan membawa berbagai barang pusaka. Pangeran Puger pun mendapatkan tahtanya dengan gelar Pakubuwono I.
Setelah melarikan diri dari keraton, Amangkurat terus menjadi buronan Pangeran Puger dan VOC. Amangkurat III tidak diterima di Ponorogo, dia kemudian pindah ke Madiun, ke Malang dan kemudian ke Blitar. Sebenarnya Amangkurat III juga mendapatkan dukungan dari Untung Suropati yang memang anti VOC. Namun Untung Suropati berhasil dikalahkan oleh pasukan gabungan VOC. Pada tahun 1708 Amangkurat III menyerah di Surabaya dan semua pusaka kraton akan diserahkan kepada Pakubuwono I. Dia dipenjarakan oleh VOC di Batavia. Namun akhirnya dia diasingkan di Srilanka dengan konon membawa serta pusaka Keraton.
Pada akhirnya Pangeran Puger berhasil dinobatkan menjadi Sultan Paku Buwono I. Kemenangan Pangeran Puger harus dibayarnya dengan mahal karena harus melepaskan wilayah Cirebon, Priangan dan belahan timur Madura yang berada di bawah kekuasaan untuk VOC. (Purwadi, 2003:11-12). Tentu jika kita mencermati sejak awal, perjanjian dengan VOC hanya menyebabkan kerugian bagi pihak kerajaan Jawa. Wilayah mereka berkuarang, maka keadaan ekonomi juga berhasil dikuasai oleh VOC. Memang disini terlihat kecerdikan VOC dalam memanfaatkan konflik perebutan kekuasaan di antara penguasa Jawa.
Setelah Paku Buwono I wafat pada tahun1719, terjadi pergolakan lagi di dalam Kesultanan Mataram, karena perebutan tahta oleh angoota keluarga yang menentang pengganti dari Paku Buwono I, yaitu Sunan Prabu. Kesempatan emas ini tidak dilewatkan oleh VOC untuk menanam kekuasaan di Mataram dengan mengirimkan pasukan pasukan untuk menumpas semua pihak yang tidak mendukung Sunan Prabu. Dapat dipastikan Sunan Prabu naik tahta dan bergelar Amangkurat IV.
Pada masa pemerintahan Amangkurat IV ini juga terjadi perebutan kekuasaan yang sengit seperti pada masa sebelumnya. Pangeran Blitar, saudara Amangkurat IV tidak merestui ditunjuknya Amangkurat IV sebagai raja. Kemudian dia mendeklarasikan diri sebagai raja di Karta, yang merupakan istana pada masa Sultan Agung. Terjadi juga berbagai pemberontakan dari saudara Amangkurat yang didukung oleh kaum ulama yang memang anti terhadap VOC. Namun berkat dukungan dari VOC, Amangkurat tetap bertahta hingga meninggal pada tahun 1726.
Setelah meninggalnya Amangkurat IV, pihak VOC kembali mendukung Pangeran muda untuk menggantikan Amangkurat IV, padahal usia dari Pangeran tersebut masih 16 tahun, dan bergelar Paku Buwono II (Purwadi, 2003 : 13). Hal ini kembali menunjukan pada kita bahwa VOC lagi-lagi ikut campur dalam suksesi raja di Kartasura. Tentu raja yang direstui VOC diharapkan dapat membantu politiknya untuk semakin mengeruk keuntungan di pulau Jawa.
Beberapa lama tertindas oleh keganasan VOC pada akhirnya muncullah pahlawan-pahlawan pembela Mataram yang bekerja sama dengan Tionghoa (telah lama mempunyai hubungan yang tidak baik dengan VOC). VOC dengan bantuan Cokroningrat berhasil mengalahkan para pejuang Mataram. Kekalahan yang dialami para pejuang menyebabkan Pakubuwono yang semula berpihak pada pejuang Mataram kembali memihak pada VOC. Keadaan seperti ini menyebabkan sakit hati pada para pejuang Mataram. (Mochtar Lubis dalam Purwadi, 2003:13)
Sejak saat itu muncul banyak pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Mas Said. Pada awalnya pemberontakan itu dibantu oleh kaum Tionghoa, tapi karena mengalami kegagalan selanjutnya pemberontakan dibantu oleh Pangeran Mangkubumi (adik dari Paku Buwono II). Paku BuwonoII meminta bantuan bantuan pada VOC, untuk imbalannya VOC meminta untuk intervensi atas pemerintahan Mataram. Pada tahun1744 VOC mengirim orang untuk dijadikan kaki tangannya yang digunakan meluluskan rencananya menguasai Mataram. Kaki tangan VOC ini dilegalkan dalam bentuk kelembagaan yaitu menjabat sebagai Pepatih Dalem, yang selanjutnya pemerintahan Mataram banyak dikendalikan oleh Patih ini. Mulai saat itu kekuasaan Raja terkikis dan memudar. (Purwadi, 2003 : 15-17)
Pemberontakan juga terjadi diakibatkan adanya tokoh yang berpengaruh saat itu seperti Arya Mangkunegaran. Sebenarnya Arya mangkunegaran dihasut oleh Patih Cakrajaya(Danureja). Atas peran VOC pula Arya Mangkunegaran diasingkan ke Tanjung Harapan. Pakubuwono yang juga tidak menyenangi patihnya itu meminta VOC untuk membantunya menyikirkan patih Cakrajaya. Tentu VOC sangat setuju dengan permintaan Pakubuwono II itu karena itulah tujuan utama dari VOC, yaitu memecah belah para pemimpin Mataram. Patih tersebut pun dilengserkan dan diganti dengan Patih Natakusuma. Patih yang baru ini ternyata juga anti terhadap VOC.
Seperti yang telah diterangkan diatas bahwa terjadi pemberontakan yang terjadi dari orang-orang Cina. Pemberontakan ini diawali dengan terjadinya pembantaiaan akan etis Cina oleh bangsa eropa di Batavia. Orang Cina yang tersisa tidak terima dan menyingkir ke wilayah timur. Disini banyak pihak yang mendesak Pakubuwono II untuk membantu orang Cina tersebut. Pakubuwono pun menyetujuinya dan mengirimkan 20.000 pasukannya untuk menyerang pos-pos VOC. Pada awal perang ini, VOC berhasil didesak oleh pasukan Pakubuwono dan orang-orang Cina.
Disinilah VOC mendapatkan bantuan dari Cakraningrat IV yang berkuasa di Madura menawarkan membantu VOC. Sudah sejak lama memang Madura tidak suka dengan kepemimpinan Kertasura yang dianggapnya bobrok. VOC tentu senang sekali dengan bantuan yang diberikan ipar Pakubuwono tersebut. keadaan pun berbalik, pasukan Cina berhasil dipukul mundur oleh VOC. Pada Maret 1742, VOC berhasil menguasai Kartasura dan membuat perjanjian damai dengan PakubuwonoII. Cakraningrat IV sebenarnya meminta agar Pakubuwono dibuang, namun ternyata VOC menolak hal tersebut karena Pakubuwono dianggap masih dibutuhkan. Cakraningrat yang takut bahwa VOC tidak akan membantu kemerdekaan Madura akhirnya menyetujui Pakubuwono II kembali memerintah di Kartasura.
Disinilah tanpa diduga pasukan Cina yang kalah tadi telah dimasuki banyak pejuang Jawa yang anti VOC. Mereka berhasil merebut keraton Kartasura dan memaksa Pakubuwono II serta VOC menyingkir ke Ponorogo. Namun pada tahun 1743, Kartasura berhasil dikuasai lagi setelah pemimpin pemberontak yaitu Sunan Kuning ditangkap. Berdasar adat Jawa, karena Keraton sudah hancur dan pernah dikuasai musuh, maka harus ada pergantian tempat. Disinilah awal mula dibangunnyan kraton Surakarta yang masih bertahan Hingga sekarang.
Banyak terjadi perang saudara pada saat kepemimpinan Paku Buwono II. Perang saudara yang telah terjadi mengakibatkan stabilitas politik dan keamanan yang kacau balau juga menghabiskan banyak dana dan mengakibatkan Mataram mempunyai hutang yang berlipat ganda dengan bunga yang sangat besar kepada VOC. Dalam keadaan sakit parah Susuhunan Paku Buwono II dipaksa oleh VOC untuk menandatangani surat perjanjian yang isinya penyerahan seluruh Kerajaan Mataram di bawah kekuasaan VOC, pada waktu itu VOC dipimpin oleh Gubernur Jendral Gustaf Wilem Baron Van Imhof. Setelah ditandatanganinya perjanjian tersebut secara otomatis Kekuasaan Mataram telah pudar dan semua pemerintahan dibawah kendali VOC, dengan demikian kekuasaan Raja tidak ada fungsinya lagi. Puncak kebangkrutan Mataram terjadi pada saat-saat tersebut. (Purwadi, 2003 : 16-17)
Kejadian tersebut menunjukkan betapa hebatnya peranan dan politik yang diterapkan VOC sehingga dapat mendalangi perang saudara antara para penguasa di Mataram dengan cara memberikan benih perpecahan secara terus menerus. Setelah keadaan Mataram terpecah pun VOC tetap tidak berhenti untuk mengacaukan hubungan an tara kedua pemuka Keraton tersebut. Ada saja masalah yang bisa ditimbulkan oleh VOC, salah satunya adalah masalah batasan wilayah, dengan masalah tersebut VOC seolah-olah berperan sebagai pihak pendamai, padahal VOC merupakan dalang dari semua masalah yang ada. Tampak bahwa kekuasaan politik Raja-raja Jawa sudah diambil oleh VOC. Bahkan pada masa selanjutnya, VOC mendapatkan kekuasaaan penuh. Kedaulatan Sunan di Surakarta sejak tahun 1749 boleh dikatakan sudah hilang. Pengaruh sistem administrasi kolonial Belanda semakin menguasai kehidupan politik Kasunanan Surakarta(Imam dkk,2010:17). Hampir seluruh wilayah Surakarta dan Yogyakarta di bangun benteng untuk mengawasi gerak gerik dari kedua belah pihak tersebut, sehingga seakan-akan kedua wilayah tersebut dikepung oleh VOC. Tindakan VOC tersebut dilatar belakangi karena kecemasan terhadap kemajuan wilayah Mataram Surakarta dan wilayah Mataram Yogyakarta. (Purwadi, 2003 : 20)
Namun ditengah pengaruh Belanda yang kuat tersebut, ada juga inisiatif beberapa pimpinan kerajaan Surakarta untuk menolak semakin besarnya pengaruh VOC di segala bidang. Termasuk seperti apa yang diterangkan diatas bahwa Amangkurat telah ada yang memakai pekaian ala eropa dalam melaksanakan tugas dinasnya.selain itu, pengaruh minum-minuman serta obat terlarang juga masuk. Disinilah keluar peraturan yang melarang para pimpinan kerajaan untuk menghisap opium serta minuman keras. Peraturan ini dikeluarkan oleh K.R.A. Sasranegara kepada R.T Mangkuyuda(Margana,2004:185).