Sejarah IAIN SALATIGA

Pendirian

Sejak berdirinya sampai saat ini, STAIN Salatiga telah melewati sejarah yang cukup panjang, dan mengalami beberapa kali perubahan kelembagaan. Pendirian lembaga ini, bermula dari cita-cita masyarakat Islam Salatiga untuk memiliki Perguruan Tinggi Islam. Oleh karena itu didirikanlah Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) "Nahdlatul Ulama" di Salatiga. Lembaga ini menempati gedung milik Yayasan "Pesantren Luhur", yang berlokasi di Jalan Diponegoro Nomor 64 Salatiga. Lembaga ini berdiri berkat dukungan dari berbagai pihak, khususnya para ulama dan pengurus Nahdlatul Ulama Jawa Tengah.
dinegerikan bersamaan dengan persiapan berdirinya IAIN Walisongo Jawa Tengah di Semarang. Guna memenuhi persyaratan formal, maka dibentuklah panitia pendiri yang diketuai oleh K.H. Zubair dan sekaligus diangkat sebagai Dekannya.
Dalam waktu yang bersamaan dengan proses pendirian IAIN Walisongo Jawa Tengah di Semarang, Fakultas Tarbiyah Salatiga diusulkan untuk dinegerikan sebagai cabang IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Setelah dilakukan peninjauan oleh Tim Peninjau yang dibentuk IAIN Sunan Kalijaga, akhirnya pembinaan dan pengawasan Fakultas Tarbiyah Salatiga diserahkan padanya. Keputusan ini didasarkan pada Surat Menteri Agama c.q. Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Nomor Dd/PTA/3/1364/69 tanggal 13 November 1969.
Ketika IAIN Walisongo Jawa Tengah di Semarang berdiri, Fakultas Tarbiyah Salatiga mendapatkan status negeri, dan menjadi cabang IAIN Walisongo. Penegerian Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo tersebut berdasarkan SK Menteri Agama Nomor 30 Tahun 1970 tanggal 16 April 1970.

Bergabung dengan IAIN Walisongo

Meskipun telah berstatus negeri dan menjadi IAIN Walisongo, Fakultas Tarbiyah namun kondisinya tidak berubah dalam waktu singkat, sehingga sejajar dengan Perguruan Tinggi Negeri yang lain. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
a. Sarana dan prasarana yang jauh dari memadai. Utamanya belum tersedia gedung milik sendiri;
b. Tenaga profesional baik edukatif maupun administrasi yang masih kurang; dan
c. Animo mahasiswa yang relatif masih kecil.
Keadaan tersebut berlangsung dalam waktu yang relatif lama, sehingga kondisi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Di Salatiga, dapat dikatakan kurang layak untuk disebut sebagai perguruan tinggi, terutama dilihat dari sarana dan fasilitas yang dimiliki. Oleh Karena itu pernah berkembang isu untuk menutup lembaga ini.
Mengingat kendala utama bagi pengembangan lembaga tersebut belum tersedianya kampus milik sendiri, maka para pengelola fakultas mencurahkan perhatian dan usahanya untuk menjawab tantangan tersebut. Jalan satu-satunya yang mesti ditempuh adalah membeli areal tanah kampus, sebab mengharapkan wakaf dari masyarakat dan meminta kepada Pemerintah Daerah tidak memungkinkan.
Suatu kebetulan ada seorang warga Muhammadiyah (H. Asrori Arif) yang menaruh perhatian terhadap keberadaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Salatiga. Beliau menawarkan tanah pekarangannya seluas 0,75 ha lengkap dengan bangunannya yang letaknya cukup strategis untuk penyelenggaraan pendidikan.
Berkat perhatian Menteri Agama (H. Alamsyah Ratu Prawiranegara) terhadap perkembangan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Salatiga, maka beliau berkenan mengabulkan usulan Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Salatiga Nomor 031/A-a/FT-WS/I/1979, tanggal 24 Januari 1979, tentang maksud pembelian tanah tersebut (pada waktu itu Dekan dijabat oleh Drs. Achmadi).
Berdasar pada surat Dirjen Binbaga Islam Nomor E/Dag/BI/2828. tanggal 10 Agustus 1982, maka dibelilah tanah sebagaimana ditawarkan di atas dengan menggunakan DIP Pusat (tahun anggaran 1980/1981 dan 1981/1982). Hal penting yang perlu dicatat adalah bahwa pembelian tanah tersebut tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, terutama Bapak Muhammad Natsir (selaku Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) yang juga telah lama menaruh perhatian terhadap kehidupan umat Islam di Salatiga.
Tercatat mulai tahun 1982 Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Salatiga hijrah dari kampus lama ke kampus baru milik sendiri, tepatnya dijalan Caranggito 2 (sekarang berubah menjadi jalan Tentara Pelajar 2). Kampus baru dinilai sebagai jawaban tepat yang bersifat fisik atas tantangan rencana rasionalisasi. Bahkan kampus baru tersebut dirasakan mampu membangkitkan kembali optimisme dan antusiasme seluruh civitas akademikanya.
Sedikit demi sedikit sarana dan prasarana pendidikan bertambah, antara lain gedung kuliah, perpustakaan dan kantor. Pemerintah Daerah pun juga tidak mau ketinggalan untuk memberikan bantuan tambahan tanah kampus seluas 3000 m2 yang waktunya bersamaan dengan pembangunan masjid kampus bantuan Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila. Memang secara administratif masjid tersebut milik PEMDA, tetapi secara fungsional menjadi tanggungjawab Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Salatiga.
Seiring dengan semakin bertambahnya fasilitas akademik, bertambah pula tenaga kependidikan khususnya tenaga edukatif dan mahasiswanya. Jika pada masa dekade pertama Fakultas Tarbiyah Salatiga hanya memiliki 7 (tujuh) orang dosen tetap, pada dekade kedua menjadi 30 (tiga puluh) orang. Fenomena yang hampir sama terjadi pula pada perkembangan jumlah mahasiswa. Pada tahun 1987 tercatat 940 orang. Jika dibanding dengan jumlah mahasiswa tahun 1983, maka peningkatannya sudah lebih dari 300%.
Disimak dari sisi akademis, eksistensi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Salatiga juga semakin mantap, sebab mulai tahun akademik 1983/1984 sudah diberi kewenangan menyelenggarakan Program Pendidikan Strata Satu (S1) dengan sistem SKS. Sebelumnya Perguruan Tinggi ini hanya berhak menyelenggarakan Program Pendidikan Sarjana Muda. Disamping itu secara yuridis juga semakin kokoh dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1985 tentang Struktur Organisasi IAIN di mana Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Salatiga termasuk di dalamnya.
Tahun 1987 tampaknya relevan untuk dipahami sebagai awal pengembangan kinerja bagi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Salatiga. Serangkaian peristiwa bersejarah terjadi mengiringi perjalanan waktu ini.
Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 1987 tentang status IAIN/Fakultas merupakan justifikasi yuridis yang amat mengokohkan eksistensi lembaga pendidikan tinggi Islam ini. Pada Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Salatiga sendiri sebenarnya tengah terjadi pula proses penguatan institusional, baik berupa sarana fisik maupun sumber daya tenaga kependidikannya.
Di atas tanah bantuan PEMDA didirikan gedung kuliah, laboratorium bahasa, ruang micro teaching dan sarana komputer. Pada tahun 1991 dibangun pula sebuah gedung auditorium yang amat bermakna bagi proses pendidikan. Perkembangan selanjutnya dibangun sarana kegiatan mahasiswa seperti POSKO MENWA, Sekretariat RACANA, Sekretariat Teater dan kantor Koperasi Mahasiswa yang menyatu dengan gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) yang diresmikan pada tahun 1995.
Di celah perkembangan sarana fisik tersebut ada kenyataan historis yang perlu diberi catatan khusus, yaitu peran Badan Koordinasi Orang Tua dan Alumni (BAKOAMI) yang dibentuk pada tahun 1988. Pada tahun 1992 diaktanotariskan dengan nama Yayasan Kerjasama Orang Tua dan Alumni (YAKOAMI) yang dipimpin oleh Bapak Jumadi, B.A.
Adapun peningkatan sumber daya insani tampak pada upaya serius lembaga ini dalam mendorong tenaga edukatif dan administrasi untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Pada awal tahun 1997 Fakultas Tarbiyah telah memiliki 44 orang dosen tetap. Dari jumlah itu 1 orang telah bergelar Doktor, 22 orang bergelar Magister, dan 10 orang sedang menyelesaikan program S.2 dalam berbagai bidang keilmuan. Di antara tenaga administrasi ada 2 orang yang sedang menyelesaikan studi program S.1.
Dengan menyimak pada proses perkembangan tersebut, maka Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Salatiga sebenarnya tampak semakin mapan secara akademik untuk memberdayakan mahasiswa yang berjumlah 1337 orang.
Adapun para personel yang pernah memimpin Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Salatiga yang didirikan pada tahun 1970 hingga beralih status menjadi STAIN adalah sebagai berikut:
Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Di Salatiga
Drs. H. Machbub Masduqi
Drs. Cholid Narbuko
Drs. H. Achmadi
Drs. Imam Buwaity
Drs. H.M. Banany
Drs. H.A. Noerhadi Djamal
(1971-1973, dan 1973-1976)
(1976-1979)
(1979-1982, 1985-1988, dan 1988-1992)
(1982-1983)
(1983-1985)
(1992-1995, dan 1995-1997)
Pembantu Dekan
Drs. Khomsun Taruno
Drs. Imam Buwaity
Drs. Achmadi
Drs. H.A. Noerhadi Djamal
Drs. Chudhori, MA.
Drs. H. M. Banany
Drs. H. Anwar Kusnan Riyanto
Drs. M. Zulfa
(1971-1973 dan 1973-1976)
(1971-1973 dan 1973-1976)
(1976-1979)
(1985-1988 dan 1988-1992)
(1985-1988)
(1988-1992)
(1985-1988)
(1996-1997)

 Alih Status Menjadi STAIN

Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1997, maka secara yuridis mulai tanggal 21 Maret 1997 Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Salatiga beralih status menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga. Sesuai dengan keputusan itu, STAIN tetap didudukkan sebagai perguruan tinggi di bawah naungan Departemen Agama Republik Indonesia yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau profesional dalam disiplin ilmu pengetahuan agama Islam. Sebagai salah satu bentuk satuan Pendidikan Tinggi, STAIN Salatiga masih tetap pula memiliki kedudukan dan fungsi yang sama dengan institut maupun universitas negeri lainnya.
Beralihnya status Fakultas Tarbiyah menjadi STAIN Salatiga telah membawa berbagai peningkatan, baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Peningkatan fisik meliputi penambahan tanah dan gedung sekretariat. Pada tahun 1997 STAIN Salatiga telah menambah tanah seluas 12.500 meter persegi yang terletak tidak jauh dari kampus sekarang. Kemudian pada tahun 2001, STAIN Salatiga telah membangun gedung sekretariat berlantai tiga dengan luas bangunan seluruhnya 900 meter persegi, yang dibangun di atas tanah bekas KUA seluas 871 meter persegi.
Sedangkan peningkatan non fisik meliputi peningkatan jumlah dan pendidikan bagi dosen dan pegawai tetap STAIN Salatiga. Hingga tahun 2007, jumlah dosen tetap STAIN Salatiga sebanyak 94 orang. Dari jumlah tersebut 2 orang bergelar profesor, 5 orang bergelar Doktor, 70 orang bergelar Magister, dari 26 orang tersebut sedang studi S-3 sebanyak 10 orang, studi S.2 sebanyak 30 orang (termasuk calon dosen). Sedangkan jumlah pegawai tetap STAIN Salatiga hingga tahun 2007 mencapai 27 orang, 2 orang di antaranya sudah menyelesaikan S-2. jumlah mahasiswa reguler 1991 mhs
Adapun personalia yang pernah menjabat pimpinan STAIN Salatiga adalah sebagai berikut:
Periode 1997-1998 (peralihan).
Ketua
Pembantu Ketua I
Pembantu Ketua II
Pembantu Ketua III
: Drs. H.A. Noerhadi Djamal
: Dr. Muh. Zuhri, MA
: Drs. H. Komari Alwan
: Drs. H.M. Zulfa Machasin
Periode 1998-2002
Ketua
Pembantu Ketua I
Pembantu Ketua II
Pembantu Ketua III
: Prof. Dr. H. Muh. Zuhri, MA
: Drs. H.M. Zulfa Machasin , M.Ag
: Drs. H. Sukari Tamsir, M.Pd
: Drs. Badwan, M.Ag
Periode 2002-2006
Ketua
Pembantu Ketua I
Pembantu Ketua II
Pembantu Ketua III
: Drs. Badwan, M.Ag.
: Drs. Imam Sutomo, M.Ag.
: Drs. Imam Baihaqi
: Drs. H. Nasafi
Periode 2006-2010
Ketua
Pembantu Ketua I
Pembantu Ketua II
Pembantu Ketua III
: Drs. Imam Sutomo, M.Ag.
: Dr. H. Muh Saerozi, M.Ag.
: Drs. Imam Baihaqi, M.Ag.
: Drs. Miftahuddin, M.Ag.


Periode 2010-2014
Ketua
Pembantu Ketua I
Pembantu Ketua II
Pembantu Ketua III
: Dr. Imam Sutomo, M.Ag
: Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd
: Drs. Miftahuddin, M.Ag
: H. Agus Waluyo, M.Ag

Faculty of Ushuluddin, Adab and Humaniora of IAIN - IAIN Salatiga

Alamat website
http://iainsalatiga.ac.id/
http://ushuluddin.iainsalatiga.ac.id/




Biografi Muhammad Hanif Dhakiri Menaker RI

Biografi Muhammad Hanif Dhakiri


Ia adalah aktivis-politisi muda Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang berasal dari Kota Salatiga, Jawa Tengah. Saat ini dirinya mendapat kepercayaan sebagai Sekretaris Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) DPR RI. Pria yang terpilih menjadi anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Jawa Tengah X ini dikenal sebagai pribadi yang bersahabat,
memiliki motivasi, dedikasi dan integritas yang tinggi dalam bekerja, serta merupakan pekerja politik yang profesional dan aktivis yang gigih.
Di lingkungan PKB, selain duduk sebagai Wakil Sekretaris Jenderal DPP PKB (2005-2010) dan Wakil Ketua Umum Dewan Koordinasi Nasional (DKN) Garda Bangsa (2006-2011), Hanif –sapaan akrab pemuda 36 tahun ini—juga dikenal sebagai konseptor dan ideolog partai.
Terlibat di PKB semenjak partai besutan para kiai Nahdlatul Ulama (NU) itu didirikan pada 1998 dan tak pernah putus hingga saat ini.
Ia merupakan salah satu perumus dasar-dasar kepartaian PKB, termasuk menulis AD/ART PKB, naskah deklarasi, platform politik PKB yang dinamainya Garis-garis Besar Perjuangan Partai (GBPP) dan mendesain logo PKB yang tadinya diwarnai dengan warna biru PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia). Tentu dengan gambar dasar yang khas NU: bola dunia dan bintang sembilan!
Hal itu dimungkinkannya karena ia adalah salah satu lingkaran inti H. Matori Abdul Djalil, politisi terkemuka NU saat itu, yang diberi kepercayaan oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) --Ketua Umum PBNU saat itu-- untuk menahkodai kapal besar PKB untuk pertama kalinya.
Tak pelak, bagi Hanif, Matori yang telah membawanya berkelana ke Jakarta adalah salah satu guru politiknya. Kendati demikian, belakangan setelah Matori berseteru dengan Gus Dur, Hanif memilih “menderita” bersama Gus Dur –guru politik dan ideologinya-- yang jatuh dari kursi kepresidenan ketimbang bersama Matori yang sedang mendapatkan promosi sebagai Menteri Pertahanan dalam Kabinet Megawati Soekarnoputri.
Alasannya sederhana: “Demi NU dan demi bangsa, Gus Dur harus dibela”, katanya saat itu. Praktis lelaki lulusan IAIN Walisongo Salatiga itu ikut Matori pada saat yang bersangkutan “menderita” karena di luar pagar kekuasaan politik negara, dan ikut Gus Dur pada saat ia juga “menderita” karena kehilangan kekuasaannya sebagai Presiden Republik Indonesia pada tahun 2001 silam.
Sebagai salah satu ideolog PKB, Hanif Dhakiri bersama beberapa koleganya di partai telah menulis sejumlah buku kaderisasi yang dipakai sebagai panduan kaderisasi politik partai di seluruh belahan Nusantara. Tak sebatas itu, ia juga turun ke lapangan melakukan kaderisasi langsung ke lebih dari 200 kabupaten/kota di Indonesia untuk berdiskusi, melakukan pelatihan dan berbagi pengalaman bersama kader-kader PKB di daerah, baik mereka yang aktif di partai, di lingkungan keluarga besar NU-PKB, maupun yang aktif di badan legislatif. Beberapa topik yang dibawakannya dalam pelbagai pendidikan dan pelatihan kader itu antara lain: manajemen partai, komunikasi politik, perencanaan strategi, kampanye politik, politik anggaran dan legislasi, dan lain-lain. Yang menarik, dalam setiap kesempatan bertemu dengan kader-kader PKB dan NU pada umumnya, Hanif selalu menginjeksi mereka dengan energi politik yang disebutnya sebagai “dendam sejarah” NU.
Menurut Hanif, “dendam sejarah” NU adalah kristalisasi dari sejarah penghancuran gerakan multi-sektoral NU di masa lalu yang harus menjadi cambuk bagi seluruh gerakan lintas sektoral NU dan juga PKB untuk merebut hak sejarah NU memimpin republik ini. Hanif membayangkan kalau saja gerakan Ma’arif NU dulu tak dihancurkan, pasti generasi muda NU sekarang akan banyak yang berpendidikan tinggi dan NU akan memiliki lembaga pendidikan yang kuat dan berpengaruh. “Mungkin saja saya bukan lagi lulusan IAIN, melainkan lulusan universitas terkemuka di Eropa, Amerika atau Timur Tengah”, katanya.
Demikian pula, kalau gerakan militer NU dulu tak dihancurkan, tentu akan banyak generasi NU yang menjadi perwira tinggi di militer atau kepolisian sekarang ini. “Mungkin saya bukan lagi anak seorang PNS rendahan, melainkan cucu seorang jenderal!”, komentarnya lanjut. Lihat juga, Hanif menambahkan, kalau gerakan Nahdlatut Tujjar alias gerakan ekonomi dan perdagangan NU dulu tak dihancurkan, seburuk-buruknya nasib generasi NU sekarang adalah keturunan saudagar kaya di republik ini. Generasi muda NU sekarang tentu banyak yang akan menjadi kaum profesional dan mayoritas warga NU tak lagi dikungkung problem kemiskinan dan keterbelakangan. Dalam soal politik, nasib NU di masa lalu juga setali tiga uang. Ia dihancurkan dan karenanya politik NU hari ini masih terus saja “menanam”, padahal semestinya sudah saatnya “menuai”.
Dalam pandangan Hanif, “dendam sejarah” NU itu perlu disinergikan dengan sejarah kepeloporan NU berikut tokoh-tokohnya. “Indonesia tak akan pernah menjadi Indonesia yang sebenarnya tanpa ketokohan dan keperanan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim dan sekian banyak ulama NU lain yang berkontribusi besar terhadap pembentukan dasar-dasar nation-state Indonesia.
Tak terkecuali keputusan-keputusan resmi NU yang sarat dengan ekspresi nasionalisme, pluralisme, hingga masalah keseharian yang erat dengan tradisi dan kebudayaan masyarakat”. “Dendam sejarah”, kata Hanif, harus melahirkan energi politik yang menjadi nalar gerak aktivis-aktivis NU pada umumnya. Sedangkan sejarah kepeloporan NU masa lalu, harus bisa menumbuhkan kepercayaan diri kalangan NU untuk tampil memimpin dan merebut hak sejarah untuk turut mengatur republik ini. Dari sinilah Hanif memiliki obsesi untuk merintis dan membangun teknokrasi politik NU masa depan yang berbasis pada pengembangan sumber daya manusia, penguatan jaringan sosial, ekonomi dan politik, hingga pemeliharaan tradisi Nusantara yang kian digerus oleh arus globalisasi dan konsumerisme pasar.
Meski tergolong masih muda, perjalanan politik Hanif Dhakiri cukup panjang. Ia memulai aktivitas politiknya dari jalur gerakan mahasiswa pada awal 90-an. Dari kampus kecil di bilangan Kota Salatiga, ia membangun gerakan mahasiswa dan gerakan advokasi kerakyatan dengan melakukan pengorganisasian dan pendampingan intensif terhadap kelompok masyarakat rentan. Melalui lembaganya, Jaringan Studi Transformasi Sosial (JSTS), dan organ gerakan kemahasiswaannya, Solidaritas Mahasiswa Salatiga (SMSt), Hanif terlibat dalam sejumlah aksi politik melawan kediktatoran rezim Orde Baru di daerah dan melakukan pendampingan petani, buruh, kaum miskin kota (urban poor), santri hingga pemuda penganggur. Bersama sejumlah koleganya, ia menginisiasi pembentukan organisasi rakyat, melakukan pendidikan politik dan pelatihan ketrampilan, mengusung pilot proyek pemberdayaan masyarakat, membangun koperasi-koperasi usaha bersama dan lain sebagainya. Muaranya satu, yakni mengokohkan kemandirian ekonomi dan politik rakyat dalam keberhadapannya dengan negara dan modal yang pada saat itu terlalu kuat. Menurut Hanif, negara maupun modal menjadi tidak manusiawi kalau terlalu kuat. Rakyat juga menjadi tidak manusiawa kalau terlalu lemah. “Kita butuh negara dan modal yang kuat, tetapi pada saat yang sama kita juga butuh rakyat yang kuat”, demikian pendapatnya.
Semasa mahasiswa, selain dikenal luas di luar Kota Salatiga, Hanif Dhakiri adalah perintis dari dan aktif dalam beberapa kelompok strategis di kampusnya. Ia mendirikan Majalah Mahasiswa DINAMIKA yang sangat kritis terhadap pemerintah dan kebijakan kampusnya; memfasilitasi kaderisasi regular mahasiswa untuk terjun ke gerakan mahasiswa melalui JSTS dan SMSt; mengembangkan kelompok pecinta alam MITTAPASA, nguri-nguri Teater GETAR milik IAIN Salatiga dan aktif sebagai pemain teater hingga belakangan menjadi penulis naskah teater dan sutradara; menjadi aktivis Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa Arab dan pengurus dari Walisongo English Club; dan lain sebagainya.
Di luar kampus, sebagaimana laiknya aktivis gerakan mahasiswa, lelaki yang pernah mengenyam pendidikan S-2 di Universitas Indonesia ini, aktif di pelbagai komite aksi dan pengorganisasian rakyat di pelbagai daerah di Jawa Tengah dan sekitarnya. Dan, sebagai orang NU, Hanif tentu saja aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Ia pernah menjadi Ketua Komisariat IAIN Salatiga (1991-1992), Ketua PC PMII Salatiga (1994-1995), Anggota Pleno Koordinator Cabang PMII Jawa Tengah (1995-1996) dan Ketua Lembaga Studi dan Advokasi Buruh (LSAB) Pengurus Besar (PB) PMII (1997-2000). Pada tahun 2000, Hanif mencalonkan diri sebagai Ketua Umum PB PMII dalam kongresnya yang ketigabelas di Medan. Nasib baik rupanya belum berpihak padanya, sehingga ia belum berhasil menjadi Ketua Umum PMII. Kendatipun demikian, kongres PMII itu telah memberinya pengalaman politik langsung berskala nasional dalam ujian kepemimpinan dan mencatat periode paling dramatis dalam sejarah kongres PMII dimana banjir air mata ribuan pendukungnya tak terelakkan pada saat ia dinyatakan ketinggalan empat suara dari pesaing utamanya. Ini terjadi karena Hanif mengembangkan semangat perkawanan ideologis bersama para pendukungnya yang hendak mengusung PMII sebagai organisasi yang memiliki kepemimpinan moral, kepemimpinan intelektual dan kepemimpinan politik masa depan dengan sinergi pemikiran keislaman yang moderat dan keindonesian yang multikultural.
Pemikiran dan kiprah politik Hanif tak bisa dilepaskan dari komunitas NU, dunia pesantren dan lingkungan kiai yang merupakan jagad kecilnya, disamping komunitas kebangsaan Indonesia yang nota bene adalah jagad besarnya. Ini terjadi karena Hanif bukan saja lahir dalam keluarga NU yang mendidiknya dengan nilai-nilai dan tradisi ke-NU-an yang ketat, tetapi lebih dari itu karena ia juga sempat mengenyam pendidikan pesantren dengan mengaji kitab kuning dan bergumul dengan tradisi-tradisi komunitas pesantren. Ia tercatat sebagai alumni Pondok Pesantren Sirajul Muhlasin, Payaman Magelang asuhan KH. Muhlasin; Pondok Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan Surakarta asuhan KH. Rozak Shofawi dan Pondok Pesantren Edi Mancoro, Gedangan Kabupaten Semarang asuhan KH. Mahfudz Ridwan. Di pesantren itulah Hanif memperdalam wawasan keagamaannya dan menginternalisasi nilai-nilai dan kultur NU yang menurutnya sangat arif terhadap kehidupan dan realitas sosial masyarakat.
Sebelum menduduki jabatan strategis di DPP PKB, Hanif bekerja selama dua tahun di NDI-Indonesia (the National Democratic Institutute), sebuah LSM Internasional yang berafiliasi dengan Partai Demokrat Amerika Serikat dan berbasis di Washinton, DC. Melalui NDI, Hanif mendorong pelbagai bentuk reformasi demokratis di lembaga legislatif pusat (DPR, Dewan Perwakilan Rakyat) maupun daerah (DPRD, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), serta terlibat dalam sejumlah program pemantauan pemilu dan penguatan kapasitas partai politik.
Beberapa tahun sebelumnya, Hanif juga pernah bekerja sebagai konsultan dan partner dari Friedrich Naumann-Stiftung (FNS), sebuah yayasan politik internasional yang berafiliasi dengan Partai Demokrat Bebas (Free Democratic Party) Jerman. Bersama FNS, ia mengembangkan sejumlah program penguatan partai politik, parlemen dan masyarakat sipil di Indonesia. Kerja-kerjanya bersama FNS dan NDI itulah yang membuatnya memiliki jaringan politik dan kemasyarakatan yang lebih luas baik Indonesia maupun di mancanegara.
Bertolak dari kiprahnya sebagai aktivis mahasiswa sejak 90-an, Hanif memulai karirnya secara intensif sebagai aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) --dan selanjutnya sebagai politisi-- semenjak 1994. Ia bekerja sebagai privat consultant dengan konsentrasi isu yang cukup luas dan tidak terbatas pada: pemberdayaan masyarakat sipil, penguatan partai politik dan legislatif daerah, pewacanaan isu Islam dan demokrasi, pendidikan pemilih dan pemantauan pemilu, persaingan usaha yang sehat, perencanaan strategis untuk institusi-institusi publik, manajemen kampanye politik dan lain-lain. Diantara partner-partnernya adalah the Asia Foundation (TAF), Friedrich Naumann Stiftung (FNS), International Republican Institute (IRI) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam negeri.
Pada tahun 1999, Hanif turut mengelola program pendidikan pemilih dan pemantauan pemilu di Jawa Timur, Kalimantan Barat dan Nusa Tenggara Timur di bawah bendera JPPR (Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat) yang melibatkan lebih dari 22.000 relawan. Ia juga terlibat sebagai pendiri dan pengurus sejumlah LSM, antara lain: WALHI Jawa Tengah; Jaringan Studi dan Transformasi Sosial (JSTS) Salatiga, Jawa Tengah; Nadwah Dirasah Islam dan Kemasyarakatan (NADIKA) Jawa Tengah; Lembaga Studi dan Advokasi Buruh (LSAB) Jakarta; Institute for Social Institutions Studies (ISIS) Jakarta; Komite Anti-Diskriminasi Indonesia (KADI) Jakarta; Monopoly Watch Jakarta, Indonesia Research and Strategic Analysis (IRSA) dan lain-lain.
Setahun sebelumnya (1998), Hanif juga terlibat dalam pelbagai bentuk diskusi dan demonstrasi menumbangkan Rezim Orde Baru Suharto sebagai bagian dari perlawanan rakyat terhadap otoritarianisme dan promosi reformasi demokratis. Masa-masa sesudahnya, selain bekerja dan menjadi konsultan politik PKB, Hanif juga terlibat dalam pendirian dan pengurus awal dari Pergerakan Indonesia, sebuah organisasi gerakan politik yang dimotori oleh aktivis-aktivis mahasiswa lintas generasi dan tokoh-tokoh nasional lintas profesi, dipimpin oleh Faisal H. Basri, seorang ekonom terkemuka di Indonesia.
Sejak tahun 1997-2001 ia telah berpartisipasi dalam studi-studi komparatif mengenai sistem politik Amerika Serikat, Jerman, Afrika Selatan dan Korea Selatan. Hanif juga merupakan alumni dari Forum for Democratic Leaders in the Asia-Pacific (FDLAP), sebuah forum komunikasi pemimpin muda Asia-Pasifik yang berbasis di Seoul, Korea Selatan, yang difasilitasi oleh The Kim Dae Jung Peace Foundation. Selain itu, ia juga alumni dan partisipan Executive Meetings dari Councils of Asian Liberals and Democrats (CALD), salah satu organisasi kaum liberal demokrat di Asia yang berbasis di Manila, Philipina.
Pada kurun 2005-2006, Hanif dengan beberapa koleganya di PKB melakukan perjalanan politik ke Asia: Malaysia, Thailand dan Singapura dalam rangka pengembangan sistem dan manajemen kepartaian. Belum lama ini, tepatnya November 2008, Hanif berpartisipasi dalam workshop partai politik dan organisasi non-pemerintah di Gummersbach, Jerman yang melibatkan wakil-wakil partai dan LSM dari 21 negara di Asia, Eropa Barat, Amerika Latin dan negara-negara di belahan Eropa Timur.

Jika ditanyakan mengenai hobinya, suami dari Ma’rifah Abdullah dan ayah dari Nabiela Setia Izzati (Abel, 9 tahun) dan Neilan Setia Izzata (Elang, 4 tahun) ini mengaku menyukai nonton film, baca buku, internet dan musik. Hobinya itu sanggup memasungnya untuk diam di rumah selama berjam-jam atau bahkan berhari-hari.
Dalam dunia tulis-menulis, Hanif telah menulis beberapa buku dan artikel, diantaranya: Menggagas Fiqh Perburuhan (1999), Paulo Freire, Islam dan Pembebasan (2000), Post-tradisionalisme Islam (2000), Politik Melayani Basis (2001), Menjadi Politisi Manajer (2001), Kiai Kampung dan Demokrasi Lokal (2007), Mengapa Memilih PKB? (2008). Ia juga menyunting dan menyumbang sejumlah tulisan dalam beberapa buku yang diterbitkan Kompas, LP3ES, Pustaka Ciganjur, Isisindo Mediatama, dan penerbit-penerbit lain.
Di kala senggang, ia masih menyempatkan diri menulis karangan populer untuk koran-koran terkemuka seperti Kompas, Media Indonesia, Jawa Pos, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat dan koran harian di daerah.

UNIBA SURAKARTA



Universitas Islam Batik
Didirikan        :1983
Jenis             :Perguruan Tinggi Swasta
Rektor          :Prof. Dr. Ir. Endang Siti Rahayu, M.S.
Lokasi          :Jl. KH. Agus Salim No.10, Surakarta, Jawa Tengah 57147
Situs web       :http://www.uniba.ac.id





SEJARAH UNIVERSITAS ISLAM BATIK 
(UNIBA) SURAKARTA

Universitas Islam batik (UNIBA) Surakarta lahir 25 tahun yang lalu tepatnya pada tanggal 30 Juli 1983 dengan nama Universitas Islam Kyai Mojo (UIM) di bawah naungan Yayasan Perguruan Tinggi Islam Kyai Mojo (YAPERTIM). Kelahiran UIM ini merupakan hasil penggabungan antara Akademi Akuntansi dan Managemen Batik Surakarta (AAM) dengan Universitas Islam Surakarta (UNIS). UIM membuka tiga Fakultas yaitu Fakultas Ekonomi (Penggabungan dari AAM), Fakultas Hukum dan Fakultas Pertanian. Sedangkan UNIS mengelola fakultas Fakultas Tarbiyah dan Syari'ah. Pada Tanggal 28 Maret 1989 diubah menjadi Universitas Islam Batik Surakarta (UNIBA) sesuai dengan persetujuan Mendikbud RI dengan Surat Keputusan No. 0161/0/1989.  Pada saat ini UNIBA mengelola tiga fakultas yaitu Ekonomi (Manajemen dan Akuntansi), Hukum, Pertanian (Agroteknologi) dan satu program Pascasarjana  Masing-masing dengan SK DIKTI, Jurusan Manajemen (7692/D/T/K-VI/2011), Jurusan Akuntansi (7691/D/T/K-VI/2011), Ilmu Hukum (7690/D/T/K-VI/2011), Budidaya Pertanian Agronomi (7693/D/T/K-VI/2011) dan Pascasarjana (5937/D/T/K-VI/2011).

Fakultas
Program Pasca Sarjana Terakreditasi B
Program S1 Fakultas Hukum Terakreditasi B
Program S1 Fakultas Ekonomi Terakreditasi B
Program S1 Fakultas Pertanian Terakreditasi B
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Go Blogger Indonesia

Go Blogger Indonesia
Go Blogger Indonesia

Popular Posts

 

http://www.jhoeydhyn.blogspot.com | |